Antara Ust. Abdul Somad, MA,Antara Bidah hasanah,Kisah Bilal(pro Nabi, Sahabat)
Alhamdulillah
artikel ini semata-mata ingin mengungkapkan fakta yang sesungguhnya tentang dalil atau argumentasi yang menyokong apa yang beliau sebut sebagai bid’ah mahmudah atau bidah hasanah. bid’ah hasanah oleh Ust. Somad hafizhahullah, bahwasanya pendapat UstSomad justru bertentangan dengan prinsip Rasulullah dan para Sahabatnya, tidak sesuai dengan pendapat as-Salaf as-Shalih, perbuatan Bilal tersebut tidak bisa dijadikan dalil untuk menyokong adanya bid’ah mahmudah/hasanah dalam ranah ritual ibadah sehingga seseorang bisa bebas melakukan atau membuat ibadah-ibadah baru (seperti ritual perayaan Maulid).
Di samping itu, artikel ini juga berharap agar para pembaca tidak mengikuti kesalahan seorang figur yang keliru dalam masalah aqidah. Karena kekeliruan dalam masalah aqidah, sangatlah fatal
Ustadz Aunur Rafiq Ghufran · Kaidah dalam Mentahdzir
Al-Ustadz Muhammad As-Sewed Manhaj TAHDZIR 01
Al-Ustadz Muhammad As-Sewed Manhaj TAHDZIR 02
Kami perlu mengingatkan, baik kepada yang pro maupun kontra:
1. Jaga diskusi dari kata-kata jorok atau menghina fisik karena kita sudah dewasa dan mengenal agama. Ini terutama kami tujukan kepada ikhwan yang berseberangan dengan Ust. H. Abdul Somad karena jangan sampai tahdzir ini jadi terkotori dan tidak ilmiah lagi
karena sebab terselip caci maki. Ibarat biji cabai yang menempel di gigi.
2. Jangan jadi dukun yang mengklaim dirinya tahu segalanya bahkan isi hati orang. Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma dimarahi Nabi ketika ia membunuh orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah lantaran menduga orang itu mengucapkannya karena takut pedang. Jangan tuduh baik kami maupun Ust. H. Abdul Somad pada sesuatu yang tersimpan dalam dada kami. Serahkan itu kepada Allah yang Maha Mengetahui.
UNTUK PARA DA’I
1. Dakwah bukan hanya amar ma’ruf tapi juga nahi munkar. Jangan alergi terhadap kritik pemikiran menyimpang karena itu termasuk jihad di jalan Allah untuk menyelamatkan umat dari paham yang menyeberangkan mereka dari Al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana yang dipahami salafush shalih.Hanya saja perlu menimbang-nimbang kapan kita mengkritik pemikiran menyimpang dengan menyebut nama dan kapan sekedar membantah penyimpangannya. Kita perhatikan mashlahat madharatnya.
2. Jika ada pemikiran menyimpang yang menyebar luas, tidak ada salahnya bahkan in syaa Allah berpahala jika dibantah, diluruskan dengan niat untuk menjaga agama Allah.
Apakah Disyaratkan Dua Rakaat Wudhu,
Setelah Selesai Wudhu Langsung?
Macam Macam Shalat Sunnah dan Fadhilahnya | Ustadz
Dr Khalid Basalamah M
(Pendalilan Bid’ah Hasanah dengan Kisah Bilal)
Ust. H. Abdul Somad, Lc., MA. –semoga Allah selalu menjaga dan membimbing beliau— dalam bukunya yang berjudul “37 Masalah Populer” pada halaman yang ke-42, membawakan kisah tentang Bilal radhiallahu ‘anhu. Kisah ini beliau jadikan sebagai dalil atau argumentasi yang menyokong apa yang beliau sebut sebagai bid’ah mahmudah atau bidah hasanah.
Beliau mengatakan:
“Ada beberapa perbuatan yang tidak dilakukan oleh Rasulullah ﷺ tidak pernah beliau ucapkan dan tidak pernah beliau ajarkan. Tapi dilakukan oleh sahabat, Rasulullah ﷺ membenarkannya.”
Kemudian beliau membawakan riwayat dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dalam shahihnya (no. 1149) dan juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya (no. 2458).
Disebutkan bahwasanya Rasulullah ﷺ bertanya kepada Bilal:
يا بلال حدثني بأرجى عمل عملته في الإسلام فإني سمعت دف نعليك في الجنة
“Wahai Bilal, kabarkan kepadaku amalan yang paling engkau harapkan dalam Islam ini. Karena aku mendengar suara terompahmu dihadapanku di surga.
قال: ما عملت عملا أرجى عندي أني لم أتطهر طهورا في ساعتي ليلا ونهارا إلا صليت بذلك الطهور
Bilal menjawab: “tidak ada amalan yang paling aku harapkan di sisiku melainkan jika aku berwudhu baik di waktu malam maupun di siang hari melainkan pasti aku melakukan shalat setelahnya sesuai dengan apa yang telah ditetapkan Allah untukku dari shalat tersebut”
Setelah membawakan hadits ini, Ust. Abdul Somad memberikan kesimpulan:
“Apakah Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam pernah melaksanakan shalat sunnat setelah wudhu’? tentu tidak pernah, karena tidak ada hadits menyebut Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam pernah melakukan, mengucapkan atau mengajarkan shalat sunnat dua rakaat setelah wudhu’. Jika demikian maka shalat sunnat setelah wudhu’ itu bid’ah, karena Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya. Ini menunjukkan bahwa shalat sunnat dua rakaat setelah wudhu’ itu bid’ah hasanah..
Jika ada yang mengatakan bahwa ini sunnah taqririyyah, memang benar. Tapi ia menjadi sunnah taqririyyah setelah Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam membenarkannya. Sebelum Rasulullah ﷺ membenarkannya, ia tetaplah bid’ah, amal yang dibuat-buat oleh Bilal. Mengapa Bilal tidak merasa berat melakukannya? Mengapa Bilal tidak mengkonsultasikannya kepada Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam sebelum melakukanya? Andai Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam tidak bertanya kepada Bilal, tentulah Bilal melakukannya seumur hidupnya tanpa mengetahui apa pendapat Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam tentang shalat dua rakaat setelah wudhu’ itu. Maka jelaslah bahwa shalat setelah wudhu’ itu bid’ah hasanah sebelum diakui Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam . Setelah mendapatkan pengakuan Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam , maka ia berubah menjadi Sunnah taqririyyah. Fahamilah dengan baik!” (37 Masalah Populer, hal: 42-43)
Tanggapan dan Kritikan:
Pertama: Jika kita memperhatikan dengan seksama, redaksi hadits ini sama sekali tidak mengandung indikasi sedikitpun bahwasanya Bilal membuat atau mengada-ada ibadah yang baru. Rasulullah ﷺ hanya sekedar bertanya kepada Bilal tentang amalan apa yang paling beliau harapkan, karena Rasulullah ﷺ mendengarkan suara terompah beliau di surga. Ini tidak menunjukan bahwasanya Bilal mengada-ada amalan baru.
Kedua: Shalat dua rakaat yang dilakukan oleh Bilal setelah berwudhu’ sudah memiliki dasar nash yang tegas dan jelas (bukan bid’ah yang dilakukan Bilal sebagaimana anggapan Ust. Abdul Somad). Di antara nash tersebut adalah:
Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya (no. 234), bahwasanya Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُحْسِنُ الْوُضُوءَ وَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ يُقْبِلُ بِقَلْبِهِ وَوَجْهِهِ عَلَيْهِمَا إِلَّا وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ
“Tidaklah seseorang melakukan wudhu dengan wudhu yang baik, kemudian dia melakukan shalat 2 rakaat dengan sepenuh hati dan jiwa melainkan pasti dia akan mendapatkan surga”
Hadits ini dengan tegas sekali menyebutkan bahwa shalat 2 rakaat setelah berwudhu adalah perkara yang disunnahkan.
Di antara dalilnya juga adalah, hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari no 160 dan Imam Muslim no 22 tentang ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu’anhu, ketika beliau mengajarkan tata cara wudhu Rasulullah ﷺ. Di akhir hadits tersebut ‘Utsman membawakan sabda Rasulullah ﷺ:
من توضأ نحو وضوئي هذا ثم صلى ركعتين لا يحدث فيهما نفسه غفر الله له ما تقدم من ذنبه
“Barang siapa berwudhu seperti wudhu’ku ini kemudian ia bangkit melakukan shalat 2 rakaat dengan hati yang khusyu’ (hatinya tidak berbisik tentang perkara-perkara duniawi yang tidak layak dalam shalat -pent), maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni”
Kedua hadits di atas dengan sangat tegas menyatakan bahwa shalat 2 rakaat setelah wudhu’ yang dilakukan oleh Bilal memiliki dasar yang kuat di dalam syari’at.
Kedua hadits tersebut sekaligus menyanggah anggapan Ust. Abdul Somad yang mengatakan:
“…tidak ada hadits menyebut Rasulullah pernah melakukan, mengucapkan atau mengajarkan shalat sunnah dua rakaat setelah wudhu…”
Alhasil, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa Bilal sama sekali tidak mengada-ada ibadah yang baru.
(Lanjut di halaman 2)
Laman: 12
Di buku ust. Abdul shomad 37 masalah populer banyak contoh amalan yg di bidahkan syeikh al bani tapi boleh oleh syekh usaimin dan sebaliknya…
Ada 8 contoh kasusnya ..
Mohon pencerahan
SukaSuka
Silahkan Baca Ebook Bantahan Ilmiah. Semoga Allah Beri Hidayah Pada Antum dan Kita Semua Agar Dapat Istiqomah Dalam Manhaj Salaf
.
Bantahan Al-Ustadz ‘Ali Ahmad bin ‘Umarﺣﻔﻈﻪﺍﻟﻠﻪﺗﻌﺎﻟﻰٰ Terhadap 30 Catatan Masalah Populer Ust. Abdul Shomad 1315Halaman
https://drive.google.com/file/d/1VHiTCjfGGIdkfGG6FdSccwn5Q_Pbg6gp/view
.
Bantahan Al-Ustadz Abu Ubaidah Yusuf Bin Muktar As Sidawi Terhadap 30 Catatan Masalah Populer Ust. Abdul Shomad 169 Halaman
https://drive.google.com/file/d/1HLsn4UQKu_oWvH6AiCEyBJD_lyeDYKXZ/view?usp=drivesdk
.
Ana Rekomendasikan Kajian.net, Radiorodja.com, Kajianilmiah.com, Abunamira.com, Radiorodjabandung.com Karena Disana Asatidz Ahlus Sunnah Banyak Daripada Ust Penyebar Syubhat dan Penyeru Ke Neraka Jahannam
SukaSuka
Sudah saya baca pak ustadz…
Ga ada yg membantah tulisan ustadz shomad karena beliau hanya mengambil para pendapat para ulama ahlus sunah (lihat fote note nya) seperti imam nawawi, ibnu hajar, imam yg 4, dll… Jadi kalau mau bantah malah harus bantah pendapat di footnote nya.
Jadi lebih kearah pendapat ulama yg lain
Jadi ga dapat pointnya..
Pak ustadz dah baca buku ilmiah 37 masalah populer ?
Pertama saya senang komen disini karena note diatas tidak boleh mencela..
Tapi malah Antum bilang UAS dan UAH ahli syubhat dan penyeru neraka jahanam 🤐. Ingat ustadz kata2 Antum akan di hisab di akhirat
SukaSuka
Silahkan. banyak Ust Ahlusunnah Lainnya Sudah Memberikan Bantahan Bahwa Mereka Menyimpang.Contohnya Menolak Sifat Allah, Menghalalkan Musik, Bom Bunuh Diri, Mengingkari Takdir, Dsb Saya Doakan Antum dan Kita Semua Bisa Istiqomah Dalam Islam Yang Murni Dengan Berpegang Dengan Al-Qur’an, Hadits Shahih Dengan Pemahaman Salaf. Saran Ana Coba Dengarkan Kajian Ust Yazid Jawas, Ust Abdul Hakim Amir Abdat, Ust Anas Burhanuddin, Ust Mizan Qudsiyah, Ust Syafiq Basalamah, Ust Firanda Andirja, KARENA bahasa Tegas, Jelas, dan Tidak Bertele Tele. Jazakallahu Khoiron
SukaSuka
Istighfar pak ustadz.. Istighfar..
Iya pak ustadz asatidz diatas dah berikan bantahan, tapi tidak mengatakan UAS, UAH mengajak ke nereka jahanam.
Masalah mereka dah 1000 tahun yg lalu ada..
Tapi ga ada satu pun manhaz salaf memvonis personal
Kalau mau tahu bagaimana ulama2 salaf memahami ayat3 mutasyabihat Cobalah tamasya ke Syarah imam muslim karya imam nawawi di hadist budak Jariyah dan Allah turun ke dunia..
Atau Syarah bukhori Ibnu hajar di hadist Allah di antara tempat sujud ..(bantahan ibnu hajar dzat Allah di arsy).
Tamasya ke buku2 Syafiah tentang Bidah..
Semoga Allah memberikan hidayah ke Antum dan kita semua …
Saya pikir Antum beda.. Ternyata sama aja .. Sama 2 memvonis personal
SukaSuka
Dakwah salafiyyah ini adalah dakwah yang sesuai fithrah , dakwah yang ilmiah. Dan setiap manusia yang memiliki fithrah yang lurus maka dia akan mudah untuk mengikuti sesuatu yang sesuai dengan fithrah nya.
.
Memang syubhat itu suatu hal yang berbahaya,
menyambar-nyambar (khatthāfah). Tapi pemahaman ini berlaku untuk kita yang sudah mengenal dakwah salafiyyah.
.
Adapun terhadap orang awam, maka sikap kita adalah tidak secara frontal mengingatkan ketika melihat saudara kita mendengarkan ceramah yang mengandung unsur syubhat.
.
Misalnya, “Oh iya kamu jangan dengerin ustadz ini sebab ustadz ini adalah ustadz syubhat ….”
.
Sepatutnya yang kita lakukan adalah mengarahkan mereka dengan cara persuasif,.Misalnya, “Wah..kayaknya di channel rodja ada kajian ustadz fulan deh..coba ditonton dulu pak/bu..”
.
Seperti itulah salah satu cara mengarahkannya tanpa perlu kita mengkritisi terlebih dahulu. Apalagi jika sampai harus menghujat dan langsung menvonis ustadz yang.lainnya dengan mengatakan mereka sesat, wal’iyadzubillah
!.
.
Jangan sampai kita menunjukkan akhlak yang buruk terhadap mereka. Kita belajar bukan untuk mudah menvonis. Tapi kita belajar dengan tujuan agar bisa menjadi lebih baik lagi.
.
Oleh karena itu hendaknya kita menghindari bahasa-bahasa memvonis, bahasa-bahasa yang mudah menjauhkan ummat dari kebenaran.
.
Syaikh Albani rahimahullāhu Ta’ālā sendiri pernah mengatakan,
« ﺍﻟﺤﻖّ ﺛﻘﻴﻞ »
“ Kebenaran itu berat.”
Maka janganlah engkau jadikan lebih berat lagi dengan uslub (cara/metode) yang buruk.
Kita jangan semakin memperberat dakwah ini dengan cara-cara yang buruk. Sudah menjadi kaidah umum bahwa,
« ﻟﻴﺲ ﻛﻞ ﻣﺎ ﻳﻌﻠﻢ ﻳﻘﺎﻝ »
“ Tidaklah semua hal yang kita ketahui itu harus kita sampaikan.”
“ Akan tetapi semua hal yang kita sampaikan haruslah kita ketahui ilmunya “.
.
Jadi, menyikapi orang awam hendaknya
kita banyak bersabar . Kita arahkan dengan cara yang baik. Jika ada hal-hal yang munkar maka kita inkari minimal dengan hati dan ini adalah yang paling wajib . Dan In syaa Allah tidak berdosa jika kita mengingkari dengan hati.
Saya Doakn Antum Dan Kita Semua Bisa Mengenali Kebenaran dan Meninggalkan Ustadz Yg Menyebar Syubhat dan Mengajarkan Bid’ah
Allaahumma innii as-alukal hudaa, wat-tuqoo, wal ‘afaaf, wal ghinaa.
Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, diberikan sifat ‘afaf dan ghina.
HR. Muslim no. 2721.
SukaSuka
Tambahan amalan yg tidak pernah di lakukan nabi tapi diamalkan oleh para imam dan ulama muktabar
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H) dalam kitabnya Madarij as-Salikin menjelaskan salah satu hizib kesukaan Ibnu Taimiyyah (w. 728 H):
ومن تجريبات السالكين التي جربوها فألفوها صحيحة أن من أدمن يا حي يا قيوم لا إله إلا أنت أورثه ذلك حياة القلب والعقل
Salah satu tajribat/ hasil uji yang dilakukan oleh para salik adalah siapa yang membiasakan membaca “ya Hayyu ya Qayyum, la ilaha illa anta” maka hati dan pikirannya akan selalu hidup
وكان شيخ الإسلام ابن تيمية قدس الله روحه شديد اللهج بها جدا، وقال لي يوما: لهذين الاسمين وهما الحي القيوم تأثير عظيم في حياة القلب، وكان يشير إلى أنهما الاسم الأعظم، وسمعته يقول: من واظب على أربعين مرة كل يوم بين سنة الفجر وصلاة الفجر “يا حي يا قيوم، لا إله إلا أنت، برحمتك أستغيث” حصلت له حياة القلب، ولم يمت قلبه.
Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) termasuk orang yang sangat suka dengan dzikir itu. Bahkan suatu ketika beliau pernah berkata: Kedua isim ‘al-Hayyu dan al-Qayyum’ ini mempunyai bekas yang cukup bagus bagi hati. Dia termasuk isim a’dzam.
Maka siapa yang membiasakan membaca sebanyak 40 kali setiap hari, di waktu antara shalat sunnah fajar dan shalat shubuh, “ya Hayyu ya Qayyum la ilaha illa anta, bi rahmatika astaghits, maka hatinya akan selalu hidup dan tak akan pernah mati. (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H), Madarij as-Salikin, hal. 1/446).
Silahkan saja jika ingin mengamalkan hizib seperti apa yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) ini.
Membaca ‘Bacaan Tertentu’ Setelah Shalat Shubuh
Hal lain yang menjadi bacaan rutin Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) di waktu tertentu adalah surat al-Fatihah.
Salah seorang murid Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) yang lain; Sirajuddin Abu Hafsh al-Bazzar (w. 749 H) menceritakan kebiasaan gurunya:
وكنت مدة اقامتي بدمشق ملازمه جل النهار وكثيرا من الليل وكان يدنيني منه حتى يجلسني الى جانبه وكنت اسمع ما يتلو وما يذكر حينئذ فرأيته يقرأ الفاتحة ويكررها ويقطع ذلك الوقت كله اعني من الفجر الى ارتفاع الشمس في تكرير تلاوتها
Ketika sedang berada di Damaskus, saya selalu mulazamah dengan Ibnu Taimiyyah, bisa dikatakan hampir sepanjang siang dan malam. Suatu ketika saya diminta duduk di samping beliau. Saya mendengar apa yang beliau dzikirkan, yaitu beliau selalu mengulang-ulang bacaan surat al-Fatihah, mulai dari fajar sampai matahari mulai meninggi di pagi hari. (Sirajuddin Abu Hafsh Umar bin Ali al-Bazzar w. 749 H, al-A’lam al-Aliyyah fi Manaqib ibn Taimiyyah, hal. 38).
Hal itu cukup beralasan. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H) pernah mendengar Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) berujar:
تأملت أنفع الدعاء فإذا هو سؤال العون على مرضاته، ثم رأيته في الفاتحة في: إياك نعبد وإياك نستعين
Saya (Ibnu Taimiyyah) mengangan-angan, sebenarnya doa paling bermanfaat itu meminta pertolongan kepada Allah atas ridho-Nya. Dan saya melihatnya berada pada surat al-Fatihah dalam ayat “iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in”. (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah w. 751 H, Madarij as-Salikin, h. 1/ 100).
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H) sendiri sebagai murid kesayangan Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) menuliskan sebuah kitab yang berjudul: Madarij as-Salikin Baina Manazil Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nastain; sebuah buku yang mengupas khusus surat al-Fatihah, dalam bingkai tazkiyatu an-Nafs atau dengan bahasa lain tasawuf versi Ibnu Qayyim al-Jauziyah.
Ayat Sakinah Pada Waktu Tertentu
Selain kedua dzikir diatas, Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) juga mengumpulkan ‘Ayat Sakinah’.
Ayat Sakinah ini biasa beliau baca ketika dalam keadaan yang sulit, atau dalam keadaan galau.
وكان شيخ الإسلام ابن تيمية – رحمه الله – إذا اشتدت عليه الأمور: قرأ آيات السكينة
Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) ketika dalam keadaan sulit, beliau membaca ayat-ayat sakinah. (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H), Madarij as-Salikin, hal. 2/ 471).
Bareng-Bareng Baca Ayat Sakinah
Bahkan Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) meminta kepada para kerabatnya untuk membacakan bersama ‘ayat sakinah’.
قال: فلما اشتد علي الأمر، قلت لأقاربي ومن حولي: اقرءوا آيات السكينة، قال: ثم أقلع عني ذلك الحال، وجلست وما بي قلبة
Ibnu Taimiyyah berkata: Ketika saya sedang dalam keadaan sulit, maka saya katakan kepada kerabat dan orang-orang disekitar saya, “Kalian bacakanlah ayat-ayat sakinah!”. Maka kesulitan dan kegalauan itu hilang. (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H), Madarij as-Salikin, hal. 2/ 471).
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H) juga memberikan tertimoni dengan membuktikan sendiri bahwa ‘ayat sakinah’ ini bisa mengobati hati yang sedang galau.
وقد جربت أنا أيضا قراءة هذه الآيات عند اضطراب القلب بما يرد عليه. فرأيت لها تأثيرا عظيما في سكونه وطمأنينته
Saya telah mencoba membuktikan sendiri membaca ayat-ayat sakinah ketika sedang galau. Saya rasakan ada bekas yang luar biasa, sampai hati saya tenang. (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H), Madarij as-Salikin, hal. 2/ 471).
Tentu akan susah dicari dalil hadits yang shahih, terkait apa saja ayat-ayat sakinah ini. Lantas dari mana Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) mendapatkan ayat-ayat sakinah ini?
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 728 H) menjelaskan apa saja ayat-ayat sakinah ini. Paling tidak ada 6 ayat sakinah di dalam al-Qur’an: Q.S al-Baqarah: 248, Q.S at-Taubah: 26, Q.S at-Taubah: 40, Q.S al-Fath: 4, Q.S al-Fath: 18, Q.S al-Fath: 26.
Bid’ahkah membaca ayat-ayat sakinah?
Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) Shalat Sehari-semalam Sebanyak 300 Rakaat
Berbeda dengan Ibnu Taimiyyah, Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) mempunyai wirid shalat sehari semalam sebanyak 300 rakaat, saat sakit beliau kurangi sampai 150 rakaat.
Abu Nu’aim al-Ashbahani (w. 430 H) menukil perkataan anak dari Imam Ahmad bin Hanbal; Abdullah bin Ahmad:
حدثنا سليمان، ثنا عبد الله بن أحمد بن حنبل، قال: كان أبي يصلي في كل يوم وليلة ثلاثمائة ركعة، فلما مرض من تلك الأسواط أضعفته، فكان يصلي في كل يوم وليلة مائة وخمسين ركعة، وكان قرب الثمانين
Bapak saya (Imam Ahmad bin Hanbal) dahulu tiap sehari-semalam shalat sebanyak 300 rakaat, ketika sakit beliau shalat sekitar 150 rakaat, yaitu saat mendekati usia 80 tahun. (Abu Nu’am al-Ashbahani w. 430, Hilyat al-Auliya wa Thabaqat al-Ashfiya’, h. 9/ 181 H).
Dan masih banyak amalan2 ulama yg tidak pernah dikerjakan nabi malah diamalkan oleh para ulama…
Mohon penjelasannya
Jazakallah khoiron katsiron
SukaSuka
Cukup satu jawaban Dalil itu adalah alqur’an, hadits yang shahih, ijma dan qiyas yang benar.
.
Oleh Ustadz Badru Salam, Lc
MENGULANG-ULANG SURAT AL FATIHAH SETELAH SHOLAT FAJAR
.
Ada yang bertanya:
Apakah benar ibnu Taimiyah mengulang-ulang surat al Fatihahsetelah sholat fajar sambil matanya melihat ke langit?
.
Jawab:
Disebutkan dalam kitab Al A’laam Al ‘Aliyah fii manaqib ibnuTaimiyah karya Al Hafidz Umar bin Ali Al Bazzaar, beliau berkata:”Telah diketahui kebiasaan beliau (ibnu Taimiyah) bahwa tidak
ada yang berani mengajak beliau berbicara tanpa keperluansetelah sholat fajar. Beliau terus menerus berdzikir beliaumemperdengarkan untuk dirinya saja dan terkadang beliau
perdengarkan kepada orang yang ada di sampingnya, dan diwaktu itu beliau sering melihat ke langit. Demikianlah kebiasaan
beliau hingga matahari naik dan telah pergi waktu terlarang untuksholat.
.
Ketika aku tinggal di Damaskus, aku bermulazamah dengan beliau di waktu siang dan kebanyakan waktu malam. Beliau suka
mendekatkan aku kepadanya dan menyuruhku duduk disampingnya. Waktu itu aku mendengar apa yang beliau baca. Akumelihat beliau membaca al Fatihah dan mengulang-ulangnya danmenghabiskan semua waktu antara fajar sampai matahari tinggidan mengulang-ulang bacaannya.”
.
Dalam kisah tersebut dapat kita simpulkan:
1. Beliau sering melihat ke langit. Bukan terus menerus.
2. Beliau mengulang-ulang bacaan al Fatihah dari fajar sampaimatahari tinggi.
.
Beliau lakukan ini karena adanya keutamaan duduk berdzikir darisemenjak selesai sholat fajar sampai terbit matahari. Haditsnya diriwayatkan oleh At Tirmidzi dan dihasankan oleh syaikh AlBani.Beliau mengulang-ulang al Fatihah bukanlah kebiasaan beliau setelah fajar hingga terbit matahari, karena beliau menyatakan dalam kitab Majmu Fatawa bahwa membaca dzikir-dzikir yang disyariatkan di waktu waktu yang telah ditentukan lebih utama
dari membaca alqur’an.(Lihat majmu fatawa 23/56-60)
.
Imam Al Bazzar kebetulan waktu itu mendengar beliau membacanya berulang-ulang tidak menunjukkan bahwa beliaunlnmerutinkannya.
Dan mengulang-ulang membaca suatu surat bukanlah perkarayang bid’ah, dan saya belum mendapat pernyataan ulama bahwa mengulang-ulang suatu surat itu termasuk perkara bid’ah. Karena anjuran membaca alqur’an itu bersifat mutlak baik satu surat
diulang ataupun tidak. Demikian juga anjuran untuk memperbanyak dzikir antara shubuh sampai terbit matahari adalah mutlak.
.
Sedangkan kaidah ushul fiqih berkata:
Suatu perintah yang mutlak hendaklah dibawa kepada kemutlakannya sampai ada dalil yang mengikatnya.
.
Jadi perbuatan ibnu Taimiyah tidak bisa dijadikan dalih untuk membolehkan perbuatan bid’ah. Yang harus diyakini oleh kita semua adalah bahwa perbuatan seorang ulama itu bukan dalil. Dalil itu adalah alqur’an, hadits
yang shahih, ijma dan qiyas yang benar.
Wallahu a’lam
SukaSuka
Iya benar pak ustadz dalil cukup al quran hadist ijma dan qiyas…
Trus bagaimana dengan amalan Syekh Abdul Aziz bin Baz mengajarkan ramuan tangkal sihir, padahal Rasulullah Saw tidak membuat dan mengajarkannya. Syekh Ibnu ‘Utsaimin mengajarkan shalat sunnat Tahyatal-masjid di tanah lapang tempat shalat ‘Ied, padahal Rasulullah Saw tidak pernah melakukan dan mengajarkannya. Para imam masjid di Saudi Arabia membaca doa khatam al-Qur’an dalam shalat Tarawih di akhir Ramadhan, padahal Rasulullah Saw tidak pernah mengajarkannya, apalagi melakukannya.
Padahal mereka adalah ulama yg paling keras terhadap bidah.
Kesimpulan:
Yang menjadi standar bukanlah perbuatan itu pernah dilakukan Rasulullah Saw atau tidak pernah dilakukan Rasulullah Saw. Tapi yang dijadikan sebagai dasar adalah bahwa perbuatan itu tidak bertentangan dengan dasar-dasar syariat Islam. Jika bertentangan, maka bid’ah dhalalah. Jika sesuai dengan Sunnah, maka bid’ah hasanah.
Bagaimana dengan para masyaikh yg saling membidahkan amalan satu dengan lainnya ?
Pilihlah satu jawaban yang benar menurut al-Qur’an dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman SALAFUSSHALIH!
:: Soal tasbih: Apakah? ::
A. Bid’ah
B. Tidak bid’ah
C. Bisa jadi bid’ah
D. Masak sih bid’ah!
Menggunakan tasbih untuk menghitung bilangan dzikir?
Ayo, dijawab dengan benar sesuai pemahaman salaf. Boleh bertanya kepada Mbah Google. Sudah ketemu jawabannya?
Jawab: Apakah jawaban anda A? Jika iya, selamat! Anda berarti sependapat dengan Syeikh Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H). Beliau memang dengan tegas menyebut bahwa penggunaan tasbih untuk dzikir itu bid’ah. Beliau menyebut:
أن السبحة بدعة لم تكن في عهد النبي صلى الله عليه وسلم. (سلسلة الأحاديث الضعيفة
والموضوعة وأثرها السيئ في الأمة، الألباني، (1/ 185)
Penggunaan tabih itu bid’ah, karena tak ada di zaman Nabi. (al-Albani, Silsilat al-Ahadits ad-Dhaifah, h. 1/ 185).
So, jawaban yang benar menurut al-Qur’an dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman SALAFUSSHALIH untuk pertanyaan ini apakah “A”?
Eitss, nanti dulu. Itu bukan menurut al-Qur’an dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman SALAFUSSHAHIH. Itu pendapat Syeikh Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H).
“Oh, tidak bisa. Sekali bid’ah ya bid’ah. Sudah jelas dalilnya. Semua bid’ah adalah sesat. Semua harus mengikuti dalil. Amalan itu harus ada dalilnya. Jika saja itu baik, pasti Nabi dan Salafusshalih sudah lebih dahulu mengamalkannya.”
Wah, apakah dalam hati Anda berkata seperti itu? Jika iya, sepertinya ada baiknya Anda menambah referensi tempat ngaji dan sesekali mengganti channel TV Islami Anda.
Itu tak lebih hanya jargon marketing, yel-yel MLM. Sebagaimana jual jamu yang katanya, “bisa menyembuhkan segala macam penyakit, dari ramuan asli nenek moyang.” Semua hukum kok dalilnya “tidak ada dalilnya”.
Perlu diketahui, menurut Syeikh Utsaimin (w. 1421 H) penggunaan tasbih untuk berdzikir itu boleh lho. Beliau menyebutkan:
فإن التسبيح بالمسبحة لا يعد بدعة في الدين؛ لأن المراد بالبدعة المنهي عنها هي البدع في الدين، والتسبيح بالمسبحة إنما هو وسيلة لضبط العدد. مجموع فتاوى ورسائل العثيمين (13/ 241)
“Membaca tasbih dengan alat tasbih itu tidak dianggap bid’ah. Karena maksud dari bid’ah yang dilarang adalah bid’ah dalam agama. Sedangkan membaca dzikir tasbih dengan alat tasbih itu hanya cara untuk menghitung bilangan.” (Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Majmu’ Fatawa, h. 13/ 241)
Begitu juga disampaikan oleh Syeikh bin Baz (w. 1420 H). Beliau menyebutkan:
يجوز له لو سبح بشيء كالحصى أو المسبحة أو النوى، وتركها ذلك في بيته، حتى لا يقلده الناس فقد كان بعض السلف يعمله، والأمر واسع لكن الأصابع أفضل في كل مكان. مجموع فتاوى ابن باز (29/ 318)
“Boleh saja menghitung bilangan tasbih dengan kerikil, alat tasbih, atau biji. Sedangkan melakukan hal itu hanya di rumah saja, sehingga orang tidak bertaqlid kepada hal itu maka lebih baik. Sebagian para salaf dahulu juga mengamalkannya. Hanya saja menghitung dzikir dengan jari itu lebih baik.” (Ibnu Bazz, Majmu’ Fatawa, h. 29/ 318).
Malahan Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) menyebut bahwa menggunakan tasbih untuk menghitung bilangan dzikir itu sesuatu yang baik. Beliau menyebutkan:
وأما عده بالنوى والحصى ونحو ذلك فحسن وكان من الصحابة رضي الله عنهم من يفعل ذلك وقد رأى النبي صلى الله عليه وسلم أم المؤمنين تسبح بالحصى وأقرها على ذلك وروي أن أبا هريرة كان يسبح به. (مجموع الفتاوى، ابن تيمية، 22/ 506)
“Menghitung bilangan dzikir dengan biji, krikil atau selainnya itu perkara yang baik. Sebagian shahabat Nabi juga pernah melakukannya.” (Ibnu Taimiyyah, Majmu’ Fatawa, h. 22/ 506).
Siapa yang sesuai Salafusshalih?
Lantas, siapakah dari mereka yang sesuai dengan al-Qur’an dan Hadits dengan pemahaman SALAFUSSHALIH?. Kata al-Albani, di zaman Nabi tidak ada. Kata Ibnu Taimiyyah, sudah ada di zaman Nabi, malahan dianggap sesuatu yang hasanah.
Apakah Anda bingung pilih yang mana? Atau perkara bid’ah ini khilafiyyah? Bukankah semua bid’ah itu tersesat? Adakah bid’ah khilafiyyah?
Jika Anda bingung, kita lanjut ke pertanyaan berikutnya.
:: Soal adzan di dalam masjid, Apakah? ::
A. Bid’ah
B. Tidak bid’ah
C. Bisa jadi bid’ah
D. Masak sih bid’ah!
Melaksanakan adzan di dalam masjid?
Masak sih bid’ah? Pertanyaan macam apa ini? Bukankah kebanyakan adzan itu di dalam masjid?
Jangan salah! Menurut Syeikh Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H), adzan di dalam masjid itu bid’ah. Beliau menyebut:
أن الأذان في المسجد بدعة على كل حال. الأجوبة النافعة عن أسئلة لجنة مسجد الجامعة، الألباني، (ص: 70)
“Pokoknya, Adzan di dalam masjid itu bid’ah”. (Muhammad Nashiruddin al-Albani, al-Ajwibah an-Nafiah, h. 70).
Nah, adzan di dalam masjid itu bid’ah menurut Syeikh al-Albani. Mungkin beliau pernah hadir di masjid Nabawi dulu dan melihat adzannya tak di dalam masjid.
Hanya saja Lajnah Daimah Arab Saudi membantahnya. Disebutkan dalam fatwanya:
لا ينبغي الإنكار على المؤذن إذا أذن داخل المسجد؛ لأننا لا نعلم دليلاً يدل على الإنكار عليه. (اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء، ص. 8/ 200)
“Tak sepantasnya inkar terhadap orang adzan di dalam masjid. Karena kita pun tak tahu dalil yang menujukkan pengingkaran itu” (Lajnah Daimah, h. 8/ 200).
Pertanyaan berikutnya.
:: Soal membuat mihrab atau tempat imam dalam masjid, Apakah? ::
A. Bid’ah
B. Tidak bid’ah
C. Bisa jadi bid’ah
D. Masak sih bid’ah!
Membuat mihrab atau tempat imam dalam masjid?
Apakah jawaban Anda? Seberapa seriuskah anda anti terhadap bid’ah?
Jika jawaban Anda “A”. Anda lagi-lagi sependapat dengan Al-Albani (w. 1420 H). Beliau dengan tegas menyebut bahwa mihrab itu bid’ah. Beliau menyebut:
وجملة القول: أن المحراب في المسجد بدعة، ولا مبرر لجعله من المصالح المرسلة. (سلسلة الأحاديث الضعيفة والموضوعة وأثرها السيئ في الأمة، الألباني، 1/ 647)
Mihrab itu bid’ah. Tak ada alasan mengatakannya mashlahah mursalah. (al-Albani, Silsilat al-Ahadits ad-Dhaifah, h. 1/ 647).
Jika bid’ah, apakah harus dihancurkan mihrab itu? Karena katanya setiap bid’ah itu pasti dhalalah.
Ternyata hal berbeda diungkap oleh Syeikh Utsaimin (w. 1421 H). Beliau menyebut bahwa mihrab itu mubah. Beliau menyebut:
والذي أرى أن اتخاذ المحاريب مباح. مجموع فتاوى ورسائل العثيمين (12/ 412)
“Hal yang saya ketahui bahwa membuat mihrab itu mubah.” (Ustaimin, Majmu’ Fatawa, h. 12/ 412).
Hal itu dikuatkan dengan fatwa dari Lajnah Daimah Arab Saudi. Disebutkan:
لم يزل المسلمون يعملون المحاريب في المساجد في القرون المفضلة وما بعدها؛ لما في ذلك من المصلحة العامة للمسلمين، ومن ذلك بيان القبلة وإيضاح أن المكان مسجد. فتاوى اللجنة الدائمة – 1 (6/ 256)
“Umat Islam sejak dahulu telah membuat mihrab dalam masjid mereka, termasuk di zaman salaf dan setelahnya. Hal itu demi kemaslahatan umat Islam.” (Fatawa Lajnah Daimah, h. 6/ 256).
:: Bid’ah khilafiyyah ::
Jika dari ketiga contoh kasus diatas, para ulama panutan gerakan anti bid’ah hasanah itu berbeda pendapat terkait bid’ah, sebenarnya hal itu juga berlaku sama pada permasalahan bid’ah-bid’ah yang lain.
Permasalah bid’ah itu seringnya bukan terkait dalil atau tidak adanya dalil. Tetapi lebih kepada “ta’rif” atau pendefinisian sesuatu yang baru, dan “takyif syar’i” atau penyesuaian kasus baru dengan dalil-dalil syar’i yang sudah ada.
Jadi, siapakah dewan juri yang paling berhak dan punya “stempel” menetapkan jawaban dari permasalah-permasalah yang dianggap bid’ah?
Jawabnya adalah para ulama Islam. Tentunya ulama’nya tidak hanya monopoli golongan tertentu saja. Ada bid’ah yang disepakati dhalalahnya, ada pula bid’ah yang masih diperselisihkan dhalalahnya. Waallahua’lam bisshawab.
SukaSuka
Ustadz mau tanya,
Bagaimana dengan amalan Imam Ibnu Taimiah merutinkan membaca al-Fatihah dari setelah shalat Shubuh hingga terbit matahari, padahal Rasulullah Saw tidak pernah mengajarkan dan melakukannya.
Syekh Abdul Aziz bin Baz mengajarkan ramuan tangkal sihir, padahal Rasulullah Saw tidak membuat dan mengajarkannya.
Syekh Ibnu ‘Utsaimin mengajarkan shalat sunnat Tahyatal-masjid di tanah lapang tempat shalat ‘Ied, padahal Rasulullah Saw tidak pernah melakukan dan mengajarkannya.
Para imam masjid di Saudi Arabia membaca doa khatam al-Qur’an dalam shalat Tarawih di akhir Ramadhan, padahal Rasulullah Saw tidak pernah mengajarkannya, apalagi melakukannya.
Apakah amalan para masyaikh di atas bukan bidah ?
Mohon pencerahan
SukaSuka
Jazakallahu Khoiron.
Ini dari kitab mana ya? Tidak ada bukti kitabnya karya-karya Syaikh Bin Bâz dan Syaikh Utsaimin kan banyak. Dlm buku apa, sebutkan dan teksnya spy bisa ditelusuri kbenarannya.
SukaSuka
Ada di buku 37 masalah populer UAS, di catatan kaki
Majmu’ fatawa wa maqolat Juz XI, hal 19.
Majmu’ fatawa wa rasail juz XIII hal 125.. Syekh utsaimin
Dan bagaimana amalan ibnu taimiyyah dan imam ahmad bin hambal ? Yg sudah saya tanyakan diatas..
Jazakallah khoiron
SukaSuka