MENGENAL SESATNYA KELOMPOK JAMAAH TABLIGH? (Bag. 1)
.
Ebook
MENGENAL SESATNYA KELOMPOK JAMAAH TABLIGH?
https://drive.google.com/file/d/1tQ-A6Oh9FnVRtQOQVI0NqI5UM-n-HPyh/view?usp=drivesdk
Membongkar Firqoh Firqoh Sesat
https://drive.google.com/file/d/15APxCBMQ1PKDQ3eWB6S3YG2B7Lzt0Zni/view?usp=drivesdk
Fatwa Para Ulama Tentang Kesesatan Jama’ah Tabligh (JT)
https://drive.google.com/file/d/1pyHu0DHnfZMl9QgWTajT909gisT7kY8X/view?usp=drivesdk
KESESATAN JAMA’AH Tabligh (SEMANGAT DAKWAH TANPA ILMU)
https://drive.google.com/file/d/1jeOn-TF-lBC1blrmIjXYad6qgmH3xelA/view?usp=drivesdk
FATWA ULAMA Seputar Jamaah Tabligh
https://drive.google.com/file/d/1jfRdH3n3gBGlmg-Ay_QHGDiHeYKvfLii/view?usp=drivesdk
.
Ebook Kesesatan Sufi Tasawuf Tarekat
….
Hakikat Sufi (Membedah Sikap Kaum Sufi Terhadap Prinsip Agama)
https://drive.google.com/file/d/1n2MW-t99P5xEi46Nbwt5RlSSL6O_bJj3/view?usp=drivesdk
Hakikat Tasawuf
https://drive.google.com/file/d/1NHPiiRhKut0kooxvt7ov3B0eAjg53Kvn/view?usp=drivesdk
Hakikat Sufi
https://drive.google.com/file/d/1SKq0J5b1srHvMu-OjTTbNRLoYSBJWO_X/view?usp=drivesdk
Eksistensi Hakikat Dan Syariat Dalam Istilah Sufi
https://drive.google.com/file/d/1QlfOwKcVvn8hQoOHRBEbwA-0QRW_AGEh/view?usp=drivesdk
Sekilas Ajaran Sufi
https://drive.google.com/file/d/1TASFDHUYeiDH67CDc0khlXRmEI_kz5w1/view?usp=drivesdk
Hakikat Sufi-Syaikh Dr.Shalih Fauzan Al Fauzan
https://drive.google.com/file/d/151Z-50-p5EgwLMyJxpYj9Ygg0T0FiejZ/view?usp=drivesdk
SIKAP IBNU TAIMIYYAH DAN IBNUL QOYYIM KEPADA KAUM
SUFI Asy-Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi al-Madkhali(41hlm)
https://drive.google.com/file/d/12b329USFIliQVzuewTYw17x106AEYrAW/view
SUFI TASAWUF DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN
SUNNAH-Muhammad Jamil Zainu 75Hlm
http://www.islamicbook.ws/indonesian/indonesian-097.pdf
Hakikat Tasawwuf-Syaikh Shaalih Al Fauzan
http://www.salamdakwah.com/kitab/47/download
Imam Asy-Syafi’i Vs Sufi Tasawuf
https://www.box.com/s/0235da59877fe6f59e86
Kesesatan Sufi
https://d1.islamhouse.com/data/id/ih_articles/id_sufi.pdf
Dialog Bersama Kaum Sufi
https://d1.islamhouse.com/data/id/ih_books/single/id_dialogue_with_the_sufi.pdf
Kesesatan Tarekat Tasawuf
https://d1.islamhouse.com/data/id/ih_articles/single/id_way_of_sufism_hartono.pdf
Hakikat Kesesatan Tasawuf
https://d1.islamhouse.com/data/id/ih_books/single/id_fact_of_sufism.pdf
Eksistensi Hakikatdan Syariat Dalam Istilah Sufi-Ust. Dr. Ali
Musri.Lc.MA(55Hlm)
https://app.box.com/s/ekh7awc3qjdcw32c1ccmvzainfk3l9o6
.
Ayo bergabung di grup WhatsApp Grup Salafi Ikhwan atau Akhwat
.
Anda akan mendapatkan:
* Artikel islami setiap hari
* Info e-book gratis
* Info donasi dakwah sunnah
* dll
..
Catatan:
Grup ini bersifat statis, peserta grup tidak bisa mengirimkan apapun.
.
Grup Akhwat
https://chat.whatsapp.com/E85nZBupsjn5fugdCKqHTZ
Grup Ikhwan
https://chat.whatsapp.com/EbMDwAXANSwDDFYoL9R46i
.
SUDAHKAH ANDA MENGENAL SESATNYA JAMAAH TABLIGH?
.
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Penulis: Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat hafizhahullah
.
Jamaah Tabligh
.
Jamaah Tabligh termasuk AHLUL BID’AH dan FIRQAH SESAT yang MENYESATKAN dari Firqah Shufiyyah. Firqah tabligh ini terbit dari India, yang dilahirkan oleh seorang Shufi tulen bernama Muhammad Ilyas. Kemudian firqah sesat ini mulai mengembangkan ajarannya, dan masuk ke negeri-negeri Islam seperti Indonesia dan Malaysia dan lain-lain.
.
Firqah tabligh ini dibina atas dasar kejahilan di atas kejahilan yang dalam dan merata, yang diawali oleh pendirinya, pengganti-penggantinya, Amir-amirnya, tokoh-tokohnya, syaikh (guru)-syaikhnya, murid-muridnya, istimewa pengikut-pengikutnya dari orang-orang awam. Kejahilan mereka terhadap Islam, mereka hanya melihat Islam dari satu bagian, dan tidak secara keseluruhan, sebagimana yang Allah perintahkan:
.
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam (ajaran) Islam scara kaffah (keseluruhan).” (Al-Baqarah: 208).
.
Kerusakan akidah mereka dipenuhi dengan kesyirikan, yang berdiri di atas Manhaj Shufiyyah. Ibadah mereka yang dipenuhi dengan bid’ah yang sangat jauh dari Sunnah. Akhlak dan adab mereka yang dibuat-buat, sangat jauh dari akhlak Nabi ﷺ dan para shahabatnya. Mereka sangat fakir dan miskin dari ilmu, karena mereka sangat menjauhi ilmu. Kebencian dan kedengkian mereka sangat dalam kepada imam-imam Ahlus Sunnah wal Jamaah, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Muhammad bin Abdul Wahhab dan lain-lain. Bahkan salah seorang amir dari firqah tabligh ini pernah berkata dengan sangat marah: “Kalau seandaiya aku memunyai kekuatan sedikit saja, pasti akan aku bakar kitab-kitab Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim dan Ibnu Abdul Wahab. Dan aku tidak akan tinggalkan sedikit pun juga dari kitab-kitab mereka yang ada di permukaan bumi ini.” (Dari kitab al-Qaulul Baligh fit Tahdzir min Jama’atit Tabligh hal. 44-45 oleh Syaikh Hamud bin Abdulah bin Hamud at-Tuwaijiriy).
.
Alangkah besarnya kebencian dan permusuhan mereka terhadap pembela-pembela Sunnah.
.
Bid’ah-Bid’ah Jamaah Tabligh
.
Di antara bid’ah-bi’ah Jamaah Tabligh ialah “Ushul Sittah” (dasar yang enam) yaitu:
.
Pertama:
.
Kalimat Thayyibah
.
Yaitu dua kalimat syahadat: Asyhadu alla ilaaha illallah wa asy hadu ana Muhammadar-rasulullah. Yang mereka maksudkan hanya terbatas pada Tauhid Rububiyyah, yaitu mengesakan Allah di dalam penciptaan-Nya, kekuasaan-Nya, pengaturan-Nya dan lain-lain, yang masuk ke dalam Tauhid Rububiyyah.
.
Tauhid inilah yang mereka amalkan, dan menjadi dasar di dalam dakwah mereka. Adapun Tauhid Uluhiyyah atau Tauhid Ubudiyyah (yaitu mengesakan Allah di dalam beribadah kepada-Nya) dan Tauhid Asma’ Wassifat (Mengesakan Allah di dalam nama dan sifat-Nya tanpa ta’wil) tidak ada pada mereka, baik secara ilmu maupun amal dan dakwah. Oleh karena itu, mereka membatasi berhala, istimewa pada zaman ini, hanya lima macam berhala:
.
Berhala pertama: Berusaha mencari rezeki dengan menjalani sebab-sebabnya, seperti berdagang atau membuka toko dan lain-lain dari jalan yang halal
.
Inilah yang dikatakan berhala oleh Jamaah Tabligh! Karena dia akan melalaikan manusia dari kewajiban agama, kecuali kalau mereka khuruj (keluar di jalan Allah menurut istilah firqah Jamaah Tabligh) bersama Jamaah Tabligh!?
.
Berhala kedua: Keluarga dan teman
Karena mereka ini pun melalaikan manusia dari menegakkan kewajiban, kecuali kalau mereka khuruj bersama Jamaah Tabligh!?
.
Berhala ketiga: Nafsu Ammaarah Bissuu’ (Nafsu yang memerintahkan berbuat kejahatan)
.
Karena menurut mereka Nafsu Ammaarah ini menghalangi menusia dari berbuat kebaikan dan dari jalan Allah, seperti khuruj bersama Jamaah Tabligh.
.
Jamaah Tabligh adalah Ahlul Bid’ah, jahil dan sesat bersama khuruj bid’ah mereka. Maka merekalah yang lebih berhak mengkuti Nafsu Ammaarah. Adapun orang yang menyalahi Jamaah Tabligh dan berpaling dari mereka, serta memeringati manusia dari bid’ahnya firqah tabligh, maka diharapkan orang tersebut jiwanya Thayyibah (baik), karena ia mengajak manusia kepada kebaikan, dan melarang dari kejahatan dan pelakunya.
.
Berhala keempat: Hawa Nafsu
Karena menurut Jamaah Tabligh, hawa nafsu ini akan menghalangi manusia dari kebaikan, seperti khuruj bersama mereka.
.
Sesungguhnya Jamaah Tabligh yang lebih berhak dikatakan sebagai pengikut-pengikut hawa nafsu kaena mereka termasuk Ahlul Bid’ah. Sedangkan Ahlul Bid’ah adalah orang yang mengikuti hawa nafsu. Oleh karena itu, ulama kita menamakannya Ahlul Ahwaa’. Di antara bukti bahwa Jamaah Tabligh pengikut hawa nafsu, mereka membai’at manusia atas dasar beberapa Tarekat Shufiyyah sebagaimana akan datang penjelasannya.
.
Berhala kelima: Setan
Yang terakhir ini menurut firqoh tabligh sangat besar menghalangi manusia dari kebaikan, seperti khuruj bersama Jamaah Tabligh.
.
Pada hakikatnya Jamaah Tablighlah yang dihalangi oleh setan dari kebenaran yang sangat besar, yaitu mengikuti Sunnah Nabi ﷺ, dan diperintah untuk mengerjakan kejahatan yang besar, yaitu bid’ah. Karena bid’ah lebih dicintai iblis dari maksiat, dan sangat dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya ﷺ. Sedangkan Jamaah Tabligh tergolong Ahlul Bid’ah yang mengikuti sunnahnya Shufiyyah.
.
Kedua:
..
Shalat Lima Waktu, shalat Jumat, shalat jamaah di masjid, shalat yang khusyu’, shalat pada shaf yang pertama, memerbanyak shalat-shalat sunnah dan lain-lain
.
Yang pada hakikatnya amal-amal di atas diwajibkan dan sangat disukai di dalam agama. Akan tetapi Jamaah Tabligh telah melalaikan beberapa kewajiban untuk menegakkan amal-amal di atas, di antaranya:
.
Ilmu
.
Mereka beramal dengan kebodohan tanpa ilmu kecuali Ilmu Fadhaa-Il (Keutamaan keutamaan amal) sebagaimana akan datang keterangannya pada dasar yang ketiga.
.
Mengikuti Sunnah
.
Mereka meninggalkan mengikuti Sunnah Nabi ﷺ dengan berpegang kepada bid’ah, Taqlid dan Ta’ashshub Madzhabiyyah.
.
Melalaikan memelajari rukun-rukun, kewajiban-kewajiban dan hukum-hukum dari amal-amal di atas.
Oleh karena itu, kita lihat mereka tidak mengerti cara shalat Rasulullah ﷺ. Adapun masjid, maka mereka mangajak ke masjid-masjid tempat mereka berkumpul.
.
Ketiga:
.
Ilmu
.
Yang mereka maksudkan dengan ilmu ialah:
.
Ilmu Fadhaa-Il, yaitu tentang memelajari keutamaan-keutamaan amal menurut mereka. Adapun ilmu tauhid dan ahkaam (hukum-hukum), dan masalah-masalah fiqhiyyah (fikih) dan ilmu berdasarkan dalil-dalil al-Kitab dan Sunnah, mereka sangat jauh, dan melarangnya, bakhan memeranginya.
.
Ilmu tentang Rukun Iman dan Islam. Akan tetapi mereka memelajarinya atas dasar tarekat-tarekat Shufiyyah, khurafat-khurafat, hikayat-hikayat yang batil dan Ta’ashshub Madzhabiyyah.
Keempat:
.
Memuliakan atau Menghormati Kaum Muslimin
.
Menurut firqoh tabligh, setiap orang yang mengucapkan dua kalimat ”Laa ilaaha illallah Muhammadar-rasulullah”, maka wajib bagi kita memuliakan dan menghormatinya, meskipun orang tersebut telah mengerjakan sebesar-besar dosa besar, seperti syirik. Menurut mereka: ”Kami tidak membenci pelaku maksiat, akan tetapi yang kami benci adalah maksiatnya!!”
.
Di dalam dasar yang keempat ini, mereka sangat berlebihan menghormati atau memuliakan kaum Muslimin, dengan meninggalkan Nahi Munkar dan nasihat, dan dengan cara yang dibuat-buat.
Kelima:
.
Mengikhlaskan Niat Agar Jauh dari Riya’ dan Sum’ah (Memerdengarkan Amal Kebaikan)
.
Akan tetapi, mereka meninggalkan Sunnah dan mengikuti-mengikuti cara-cara ikhlas di dalam Tashawwuf.
.
Keenam:
.
Khuruj
.
Menurut Jamaah Tabligh, makna khuruj adalah keluar di jalan Allah, berdakwah yang merupakan jihad yang paling besar. Mereka membatasi dakwah hanya dengan khuruj berjamaah bersama mereka selama tiga hari, dan seterusnya. Khuruj ini memunyai kedudukan dan keutamaan yang besar di dalam bid’ah mereka melebihi shalat, sedekah, puasa, dan haji dan lain-lain.
.
Keutamaan khuruj ini pernah saya dengar langsung dari salah seorang amir mereka di Pekanbaru pada 1995 di Masjid Agung An-Nur selepas shalat maghrib. Ketika amir itu telah selesai dari ceramah bid’ahnya, dan mengajak kaum Muslimin mengerjakan bid’ah yang lain, yaitu khuruj, saya tanyakan mana dalilnya dari Al-Kitab dan Sunnah tentang keutamaan khuruj yang saudara katakan tadi? Amir itu sangat terkejut, dan mengingkari apa yang telah dia katakan di atas. Kemudian saya meminta kepada Jamaah Tabligh yang hadir di masjid itu untuk menjadi saksi, bahwa amir mereka betul-betul telah mengucapkannya. Besar harapan saya, bahwa mereka akan membenarkan apa yang saya katakana, dan menjadi saksi di dalam kebenaran, bukan menjadi saksi palsu. Akan tetapi harapan saya hilang, ketika mereka semuanya mengingkari saya, dan membenarkan amir mereka. Tidak ada saksi bagi saya, kecuali Allah Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat, kemudian seorang ikhwan kita yang duduk di samping saya. Lalu saya pun meninggalkan masjid sambil berkata, bahwa mereka ini semuanya pembohong!
.
Akidah dan amalan khuruj mereka berasal dari mimpinya pendiri Jamaah Tabligh, yaitu Muhammad Ilyas. Dia bermimpi menafsirkan ayat Alquran surat Ali Imaran ayat 110 yang artinya:
.
”Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah.”
.
Berkata Muhammad Ilyas di dalam mimpinya itu ada yang mengatakan kepadanya tentang ayat di atas: ”Sesungguhnya engkau (diperintah) untuk keluar kepada manusia seperti para Nabi.”
.
Tidak syak lagi bagi ahli ilmu, bahwa tafsir Muhammad Ilyas atas jalan mimpi mengikuti cara-cara Shufiyyah adalah tafsir yang sangat BATIL dan RUSAK. Tafsir Syaithaniyyah, yang mewahyukan kepada Muhammad Ilyas, yang akibatnya timbulnya bid’ah khuruj yang menyelisihi manhaj para Shahabat. Terang-terangan atau tersembunyi, tafsir Muhammad Ilyas ini menujukkan, bahwa dia mendapat wahyu dan diperintah oleh Allah, seperti perintah Allah kepada Nabi dan Rasul. Yang pada hakikatnya, syaithanlah yang mewahyukan kepada di,a dan kaum Shufi yang lainnya, demi membuat bid’ah besar.
.
Bid’ahnya Jamaah Tabligh adalah mereka bermanhaj dengan manhaj Shufi di dalam akidah, dakwah, ibadah, akhlak dan adab dan lain-lain. Baik orang-perorangnya, amir-amirnya dan guru-gurunya.
.
Bid’ahnya Jamaah Tabligh, amir dan sebagian dari guru-guru mereka dibai’at atas empat macam tarekat Shufiyyah yaitu:
.
Naqsyabandiyyah
Qaadiriyyah
Jisytiyyah
Sahruwiyyah
.
Demikianlan amir tertinggi mereka membai’at pengikut-pengikutnya atas dasar empat tarekat di atas.
.
Mereka sangat berpegang dan memuliakan kitab mereka: Tablighi Nishaab (Kitab Tablighi Nishaab dinamakan juga kitab Fadlaa-il a’maal) oleh Muahmmad Zakaria Kandahlawiy secara manhaj maupun dakwah.
.
Kitab Tablighi Nishaab ini dipenuhi dengan berbagai macam bid’ah, syirik, Tashawwuf, khurafat, hadis-hadis dha’if dan maudhu’. Di antara bid’ah syirkiyyat (syirik-ed) yang terdapat di dalam kitab ini ialah memohon syafaat kepada Nabi ﷺ. Dan beliau ﷺ pernah mengeluarkan tangannya dari kubur beliau ﷺ, untuk menyalami Ahmad Ar-Rifaa’iy (ketua Shufi dari tarekat Ar-Rifaa’iyyah).
.
Demikian juga dengan kitab Hayaatush Shahabah oleh Muhammad Yusuf Kandahlawiy. Kitab ini pun dipenuhi dengan khurafat-khurafat dan cerita-cerita bohong serta hadis-hadis dla’if dan maudhu’. Kedua kitab di atas yang sangat diagungkan dan dimuliakan oleh Jamaah Tabligh adalah masuk ke dalam kitab-kitab bid’ah dan syirik serta sesat.
.
Bid’ahnya Jamaah Tabligh, bahwa mereka telah membatasi Islam pada sebagian ibadah. Yang sebagian ini pun mereka penuhi dan mencampur-adukkan dengan berbagai macam bid’ah dan syirkiyyat. Mereka berpaling dari syari’at-syari’at Islam yang lain, seperti tauhid, hukum, dan jihad dan lain-lain.
.
Mereka meninggalkan ilmu dan ahli ilmu. Mereka memeringatkan pengikut-pengikut mereka dari menuntut ilmu, dan duduk di majelis para Ulama, kecuali orang yang mendukung mereka. Dengan demikian, meratalah dan tersebarlah kejahilan-kejahilan yang dalam di antara mereka, dan hilangnya ilmu dari mereka. Oleh karena itu, yang menjadi timbangan mereka di dalam memutuskan segala urusan ialah dengan jalan: Istihsan (menganggap baik sesuatu perbuatan tanpa dalil), perasaan, mimpi-mimpi dan karamah-karamah (yang pada hakikatnya wahyu dan bantuan dari setan).
.
Mereka mengajak manusia ke jalan Allah dan masuk ke dalam agama Allah tanpa ilmu sama sekali dan tanpa bashirah (hujjah dan dalil). Inilah dari sebesar-besar sebab yang membawa mereka menyimpang dari ajaran Islam dan terjerumus ke dalam lembah kesasatan bid’ah dan syirik. Bagaimana mungkin mereka mengajak manusia kepada sesuatu yang mereka tidak paham dan tidak mengetahuinya!? Lihatlah! Mereka mengajak kepada Islam dan mengikuti perintah Allah dan Sunnah rasul-Nya ﷺ, padahal mereka tidak mengetahui dan memahaminya!? Sebenarnya merekalah yang lebih berhak dan sangat berhajat kepada Islam dan seluruh ajarannya, dengan cara belajar dan mehaminya dari Ulama. Bukan mengajar atau berdakwah kepada manusia!
.
Di Antara Bid’ah Besar Jamaah Tabligh
.
Di antara bid’ah besar Jamaah Tabligh ialah, bahwa mereka selalu berdalil dengan hadis-hadis dha’if, sangat dha’if, maudhu’/ palsu dan hadis-hadis yang tidak ada asal-usulnya sama sekali (laa ashlaa lahu).
.
Di antara bid’ah besar Jamaah Tabligh ialah, bahwa mereka telah membuat kelompok (firqah) yang menyendiri, dan memisahkan diri dari kaum Muslimin. Mereka tidak mengajak kaum Muslimin, kecuali kepada firqah-nya, baik secara manhaj, ilmu dan dakwah. Adanya imam tertinggi dan amir-amir dan bai’at yang ditegakkan di dalam firqah tabligh ini. Mereka mengajak kaum Muslimin ke masjid-masjid dan markas-markas mereka untuk Ijtima’ (berkumpul), umumnya sepekan sekali.
.
Di antara bid’ah besar Jamaah Tabligh ialah berkumpulnya ratusan ribu jamaah di Bangladesh pada setiap tahunnya. Di antara Ijtima’ Bid’iyyah ini keluarlah berbagai macam bid’ah I’tiqad dan Amaliyyah, yang begitu banyak dikerjakan oleh Jamaah Tabligh. Sehingga sebagian dari mereka mengatakan, berkumpulnya mereka di Dakka ibu kota Bangladesh pada setiap tahunnya, lebih utama dari berkumpulnya jamaah haji di Makkah. Mereka meyakini, bahwa bahwa berdoa pada akhir Ijtima’ di atas mustajab. Mereka meyakini, bahwa akad nikah pada hari itu diberkati. Oleh karena itu, sebagian dari mereka mengundurkan akad nikahnya sampai hari Ijtima’ tahunan di Bangladesh untuk memerolah barakahnya.
.
Di antara bid’ah besar Jamaah Tabligh ialah, bahwa mereka mewajibkan Taqlid dan bermanhaj dengan Manhaj Tashawwuf, sebagaimana telah ditegaskan oleh salah seorang imam mereka, yaitu Muhammad Zakaria, pengarang kitab Tablighi Nishaab atau kitab Fadlaa-illul a’maal:
”…Kami menganggap pada zaman ini Taqlid itu wajib, sebagaimana kami menganggap Tashawwuf syari itu sedekat-sedekat jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Maka orang yang menyalahi kami dalam dua perkara di atas (Taqlid dan Tashawwuf), maka dia telah berlepas diri dari jamaah kami…” (Jamaa’atut Tablligh, Aqaa-iduha, Ta’ri-fuha hal. 69 dan 70 oleh Ustad Abi Usamah Sayyid Thaaliburrahman). Ini menunjukkan, bahwa Jamaah Tabligh dibina atas dasar Taqlid dan Tashawwuf.
.
Di antara bid’ah besar Jamaah Tabligh ialah berdusta atas nama Allah. Salah seorang imam mereka yang bernama Muhammad Zakaria, pengarang kitab Fadlaa-ilul a’maal dengan tegas mengatakan: Bahwa Allah telah menguatkan Madzhab Hanafi dan Jamaah Tabligh!!! (Jamaa’atut Tabligh, Aqaa-iduha, ta’rifuha hal. 91 oleh ustadz Abi Usamah Sayyid Thaaliburrahman).
.
Subhanallah! Sungguh ini satu DUSTA BESAR yang telah dibuat oleh Muhammad Zakaria atas nama Allah. Apakah Allah telah mewahyukan kepadanya, setelah terputusnya wahyu, bahwa Allah yang telah menguatkan Madzhab Hanafi dan Jamaah Tabligh!? Tidak syak lagi bagi orang yang beriman, bahwa Muhammad Zakaria telah mendapat wahyu dari setan.
.
Di antara bid’ah besar Jamaah Tabligh ialah berdusta atas nama Rasulullah ﷺ. Berkata Muhammad Zakaria: ”Sesungguhnya Rasulullah ﷺ telah membagi waktu menjadi tiga bagian: Sepertiga di dalam rumahnya bersama keluarganya, sepertiga mengirim jamaah untuk tabligh dan sepertiga beliau menyendiri.” (Jamaa’atut Tabligh, Aqaa-iduha, Ta’rifuha hal. 92 dan 93 oleh Ustadz Abi Usamah Sayyid Thaaliburrahman) Subhanallah! Orang ini tidak punya rasa malu berdusta atas nama Rasulullah ﷺ, untuk menguatkan Jamaah Tablighnya yang sesat dan menyesatkan.
.
Di antara bid’ah besar Jamaah Tabligh ialah bahwa ketentuan dan ketetapan berdirinya Jamaah Tabligh berdasarkan wahyu dari Allah, yang Allah masukkan ke dalam hati pendiri Jamaah Tabligh, yaitu Muhammad Ilyas. (Jamaa’atut Tabligh, Aqaa-iduha, ta’rifuha hal 98 dan 99 oleh Ustadz Abi Usamah sayyid Thaaliburrahman). Oleh karena itu, tidak boleh ada perubahan sedikit pun juga, meskipun Ulama Ahlus Sunnah telah memeringatkan mereka akan kesesatan mereka.
–Selesai-
.
(Disalin dari buku Sudahkah Anda Mengenal Jamaah Tabligh? Karya Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat hal. 28-55, cetakan Darul Qalam-Jakarta)
.
Membongkar Kedok Jamaah Tabligh
.
Kelompok tabligh atau yang lebih dikenal sebagai Jamaah Tabligh mungkin sudah sangat akrab di telinga masyarakat. Lahiriahnya, kelompok ini getol mendakwahkan keutamaan amalan-amalan tertentu dan mengajak kaum muslimin untuk senantiasa memakmurkan masjid. Namun, di balik itu mereka memiliki banyak penyimpangan yang membahayakan akidah.
.
Jamaah Tabligh tentu bukan nama yang asing lagi bagi masyarakat kita. Lebih-lebih bagi mereka yang menggeluti dunia dakwah. Dengan menghindari ilmu-ilmu fikih dan akidah yang sering dituding sebagai ‘biang pemecah belah umat’, membuat dakwah mereka sangat populer dan mudah diterima masyarakat berbagai lapisan.
.
Bahkan, saking populernya, apabila ada seseorang yang berpenampilan mirip mereka atau kebetulan mempunyai ciri-ciri yang sama dengan mereka, biasanya akan ditanya, “Mas, Jamaah Tabligh, ya?” atau “Mas, karkun, ya?”
.
Yang tragis, jika ada yang berpenampilan serupa meski bukan dari kalangan mereka, kemudian langsung dihukumi sebagai Jamaah Tabligh. bagaimanakah hakikat jamaah yang berkiblat ke India ini? Kajian kali ini adalah jawabannya.
.
Pendiri Jamaah Tabligh
.
Jamaah Tabligh didirikan oleh seorang Sufi dari tarekat Jisytiyah yang berakidah Maturidiyah[1] dan bermazhab fikih Hanafi. Ia bernama Muhammad Ilyas bin Muhammad Isma’il al-Hanafi ad-Diyubandi al-Jisyti al-Kandahlawi kemudian ad-Dihlawi.
.
Al-Kandahlawi adalah nisbat kepada Kandahlah, sebuah desa yang terletak di daerah Sahranfur. Adapun ad-Dihlawi adalah nisbat kepada Dihli (New Delhi, -red.), ibukota India. Di tempat dan negara inilah, markas gerakan Jamaah Tabligh berada. Adapun ad-Diyubandi adalah nisbat kepada Diyuband, yaitu madrasah terbesar bagi penganut mazhab Hanafi di Semenanjung India. Sementara itu, al-Jisyti adalah nisbat kepada tarekat al-Jisytiyah, yang didirikan oleh Mu’inuddin al-Jisyti.
.
Muhammad Ilyas dilahirkan pada tahun 1303 H dengan nama asli Akhtar Ilyas. Ia meninggal pada 11 Rajab 1363 H. (Bis Bri Musliman, hlm. 583, Sawanih Muhammad Yusuf, hlm. 144—146, dinukil dari Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hlm. 2)
.
Latar Belakang Berdirinya Jamaah Tabligh
.
Asy-Syaikh Saifurrahman bin Ahmad ad-Dihlawi mengatakan, ”Ketika Muhammad Ilyas melihat mayoritas orang Meiwat (suku-suku yang tinggal di dekat Delhi, India) jauh dari ajaran Islam, berbaur dengan orang-orang Majusi para penyembah berhala Hindu, bahkan memakai nama-nama mereka, dan tidak ada lagi keislaman yang tersisa selain hanya nama dan keturunan, serta kebodohan yang kian merata, tergeraklah hati Muhammad Ilyas. Pergilah ia kepada syaikhnya dan syaikh tarekatnya, seperti Rasyid Ahmad al-Kanhuhi dan Asyraf Ali at-Tahanawi untuk membicarakan masalah ini. Ia pun akhirnya mendirikan gerakan tabligh di India atas perintah dan arahan dari para syaikhnya tersebut.” (Nazhrah ‘Abirah I’tibariyah Haulal Jama’ah at-Tablighiyah, hlm. 7—8, dinukil dari kitab Jama’atut Tabligh Aqa’iduha wa Ta’rifuha, karya Sayid Thaliburrahman, hlm. 19)
.
Adalah hal yang ma’ruf di kalangan tablighiyin (para pengikut jamaah tabligh, -red.) bahwa Muhammad Ilyas mendapatkan tugas dakwah tabligh ini setelah kepergiannya ke makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu an Tushahhah, hlm. 3)
.
Markas Jamaah Tabligh
.
Markas besar mereka berada di Delhi, tepatnya di daerah Nizhamuddin. Markas kedua berada di Raywind, sebuah desa di kota Lahore (Pakistan). Markas ketiga berada di kota Dhaka (Banglades). Yang menarik, pada markas-markas mereka yang berada di daratan India itu, terdapat hizib (rajah) yang berisikan surat al-Falaq dan an-Nas, nama Allah subhanahu wa ta’ala yang agung, dan nomor 2-4-6-8 berulang 16 kali dalam bentuk segi empat, yang dikelilingi beberapa kode yang tidak dimengerti.[2] ( Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu an Tushahhah, hlm. 14)
.
Yang lebih mengenaskan, masjid mereka di kota Delhi yang menjadi markas mereka, di belakangnya terdapat empat buah kuburan. Ini menyerupai orang-orang Yahudi dan Nasrani yang mereka menjadikan kuburan para nabi dan orang-orang saleh mereka sebagai masjid. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang-orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid, bahkan mengabarkan bahwa mereka adalah sejelek-jelek makhluk di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. (al-Qaulul Baligh fit Tahdziri min Jama’atit Tabligh, karya asy-Syaikh Hamud at-Tuwaijiri, hlm. 12)
.
Asas dan Landasan Jamaah Tabligh
.
Jamaah Tabligh mempunyai suatu asas dan landasan yang sangat teguh mereka pegang, bahkan cenderung berlebihan. Asas dan landasan ini mereka sebut dengan al-ushulus sittah (enam landasan pokok) atau ash-shifatus sittah (sifat yang enam), dengan rincian sebagai berikut.
.
Sifat Pertama: Merealisasikan Kalimat Thayibah Laa Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah
.
Kritik: Mereka menafsirkan makna Laa Ilaha Illallah dengan “mengeluarkan keyakinan yang rusak tentang sesuatu dari hati kita dan memasukkan keyakinan yang benar tentang Dzat Allah, bahwa Dialah Sang Pencipta, Maha Pemberi Rezeki, Maha Mendatangkan mudarat dan manfaat, Maha Memuliakan dan Menghinakan, Maha Menghidupkan dan Mematikan”. Kebanyakan pembicaraan mereka tentang tauhid hanya berkisar pada tauhid rububiyah ini. (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu an Tushahhah, hlm. 4)
.
Padahal makna Laa Ilaha Illallah sebagaimana diterangkan para ulama adalah “Tiada sesembahan yang berhak diibadahi melainkan Allah.” (Fathul Majid, karya asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan alusy Syaikh, hlm. 52—55)
.
Adapun makna merealisasikannya adalah merealisasikan tiga jenis tauhid; uluhiyah, rububiyah, dan asma wash shifat (al-Quthbiyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, karya Abu Ibrahim Ibnu Sulthan al-‘Adnani, hlm. 10).
.
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan juga menyatakan, “Merealisasikan tauhid artinya membersihkan dan memurnikan tauhid (dengan tiga jenisnya, –pen.) dari kesyirikan, bid’ah, dan kemaksiatan.” (Fathul Majid, hlm. 75)
.
Oleh karena itu, asy-Syaikh Saifurrahman bin Ahmad ad-Dihlawi mengatakan bahwa di antara ciri khas Jamaah Tabligh dan para pemukanya adalah apa yang sering dikenal dari mereka bahwa mereka adalah orang-orang yang mengikrarkan tauhid. Namun, tauhid mereka tidak lebih dari tauhid kaum musyrikin Quraisy Makkah, yaitu hanya berkisar pada tauhid rububiyah saja, serta kental dengan warna-warna tasawuf dan filsafat. Adapun tauhid uluhiyah dan ibadah, mereka sangat kosong dari itu. Bahkan, dalam hal ini, mereka termasuk golongan orang-orang musyrik. Untuk tauhid asma wash shifat, mereka berada dalam lingkaran Asya’irah dan Maturidiyah, kepada Maturidiyah mereka lebih dekat. (Nazhrah ‘Abirah I’tibariyah Haulal Jama’ah at-Tablighiyah, hlm. 46)
.
Sifat Kedua: Shalat dengan Penuh Kekhusyukan dan Rendah Diri
.
Kritik: Asy-Syaikh Hasan Janahi berkata, “Demikianlah perhatian mereka pada shalat dan kekhusyukannya. Akan tetapi, di sisi lain mereka sangat buta tentang rukun-rukun shalat, kewajibankewajibannya, sunnah-sunnahnya, hukum sujud sahwi, dan perkara fikih lainnya yang berhubungan dengan shalat dan thaharah (bersuci). Tablighi (pengikut Jamaah Tabligh, –red.) tidak mengetahui hal-hal tersebut kecuali hanya segelintir orang dari mereka.” (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu an-Tushahhah, hlm. 5—6)
.
Sifat ketiga: Keilmuan yang Ditopang dengan Zikir[3]
.
Kritik: Mereka membagi ilmu menjadi dua bagian: ilmu masail dan ilmu fadhail. Ilmu masail, menurut mereka, adalah ilmu yang dipelajari di negeri masing-masing. Adapun ilmu fadhail adalah ilmu yang dipelajari pada ritual khuruj (lihat penjelasan sifat keenam, -red.) dan majelis-majelis tabligh. Jadi, yang mereka maksudkan dengan ilmu adalah sebagian dari fadhail amal (amalan-amalan utama, pen.) dan dasar-dasar pedoman Jamaah (secara umum), seperti sifat yang enam dan sejenisnya. Hampir-hampir tidak ada lagi selain itu.
.
Orang-orang yang bergaul dengan mereka tidak bisa memungkiri keengganan mereka untuk menimba ilmu agama dari para ulama, dan minimnya mereka dari buku-buku pengetahuan agama Islam. Bahkan, mereka berusaha menghalangi orang-orang yang mencintai ilmu dan menjauhkan mereka dari buku-buku agama serta para ulamanya. (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu an Tushahhah, hlm. 6 dengan ringkas)
.
Sifat Keempat: Menghormati Setiap Muslim
.
Kritik: Sesungguhnya Jamaah Tabligh tidak mempunyai batasan-batasan tertentu dalam merealisasikan sifat keempat ini, khususnya dalam masalah al-wala (kecintaan) dan al-bara (kebencian). Demikian pula perilaku mereka yang bertentangan dengan kandungan sifat keempat ini.
.
Mereka memusuhi orang-orang yang menasihati mereka atau yang berpisah dari mereka karena beda pemahaman, walaupun orang tersebut ‘alim rabbani (ulama yang lurus di atas kebenaran). Memang, hal ini tidak terjadi pada semua tablighiyin, tetapi inilah yang disorot oleh kebanyakan orang tentang mereka. (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu an Tushahhah, hlm. 8)
.
Sifat Kelima: Memperbaiki Niat
.
Kritik: Tidak diragukan lagi bahwa memperbaiki niat termasuk pokok agama dan keikhlasan adalah porosnya. Akan tetapi, semua itu membutuhkan ilmu. Karena Jamaah Tabligh adalah orang-orang yang minim ilmu agamanya, maka banyak pula kesalahan mereka dalam merealisasikan sifat kelima ini. Oleh karena itu, engkau dapati mereka biasa shalat di masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan. (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu an Tushahhah, hlm. 9)
.
Sifat Keenam: Dakwah dan Khuruj di Jalan Allah Subhanahu wa ta’ala
.
Kritik: Cara merealisasikannya adalah dengan menempuh khuruj (keluar untuk berdakwah, –pen.) bersama Jamaah Tabligh, empat bulan untuk seumur hidup, 40 hari pada tiap tahun, tiga hari setiap bulan, atau dua kali berkeliling pada tiap minggu. Yang pertama dengan menetap pada suatu daerah dan yang kedua dengan cara berpindah-pindah dari suatu daerah ke daerah yang lain. Hadir pada dua majelis ta’lim setiap hari, majelis ta’lim pertama diadakan di masjid sedangkan yang kedua diadakan di rumah. Meluangkan waktu 2,5 jam setiap hari untuk menjenguk orang sakit, mengunjungi para sesepuh dan bersilaturahmi, membaca satu juz al-Qur’an setiap hari, memelihara zikir-zikir pagi dan sore, membantu para jamaah yang khuruj, dan i’tikaf pada setiap malam Jum’at di markas.
.
Sebelum melakukan khuruj, mereka selalu diberi hadiah berupa konsep berdakwah (ala mereka, –pen.) yang disampaikan oleh salah seorang anggota jamaah yang berpengalaman dalam hal khuruj. (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu an Tushahhah, hlm. 9)
.
Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata, “Khuruj di jalan Allah subhanahu wa ta’ala adalah khuruj untuk berperang. Adapun apa yang sekarang mereka (Jamaah Tabligh, –pen.) sebut dengan khuruj, maka ini adalah bid’ah. Belum pernah ada (contoh) dari salaf tentang keluarnya seseorang untuk berdakwah di jalan Allah subhanahu wa ta’ala yang harus dibatasi dengan jumlah hari-hari tertentu. Bahkan, hendaknya seseorang berdakwah sesuai dengan kemampuan tanpa dibatasi dengan jamaah tertentu, dibatasi empat puluh hari, kurang atau lebih.” (Aqwal ‘Ulama as-Sunnah fi Jama’atit Tabligh, hlm. 7)
.
Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi berkata, “Khuruj mereka ini bukan di jalan Allah subhanahu wa ta’ala, tetapi di jalan Muhammad Ilyas. Mereka tidak berdakwah kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, tetapi berdakwah kepada (pemahaman) Muhammad Ilyas, syaikh mereka yang ada di Banglades.” (Aqwal ‘Ulama as-Sunnah fi Jama’atit Tabligh, hlm. 6)
.
Akidah Jamaah Tabligh dan Para Tokohnya
.
Jamaah Tabligh dan para tokohnya adalah orang-orang yang memiliki banyak kerancuan dalam hal akidah[4].
.
Demikian pula kitab referensi utama mereka, Tablighi Nishab atau Fadhail A’mal karya Muhammad Zakariya al-Kandahlawi, adalah kitab yang penuh dengan kesyirikan, bid’ah, dan khurafat.
.
Di antara sekian banyak kesesatan mereka dalam masalah akidah adalah[5]:
.
Keyakinan tentang wihdatul wujud (bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menyatu dengan alam ini). (kitab Tablighi Nishab, 2/407, bab “Fadhail Shadaqat”, cet. Idarah Nasyriyat Islam Urdu Bazar, Lahore)
.
Sikap berlebihan terhadap orang-orang saleh dan keyakinan bahwa mereka mengetahui ilmu gaib. (Fadhail A’mal, bab “Fadhail Zikir”, hlm. 468—469, dan hlm. 540—541, cet. Kutub Khanat Faidhi, Lahore)
.
Tawasul dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (setelah beliau wafat) dan kepada selain beliau, serta berlebihan dalam hal ini. (Fadhail A’mal, bab “Shalat”, hlm. 345, dan bab “Fadhail Zikir”, hlm. 481—482, cet. Kutub Khanat Faidhi, Lahore)
.
Keyakinan bahwa para syaikh Sufi dapat menganugerahkan berkah dan ilmu laduni. ( Fadhail A’mal, bab “Fadhail Qur’an”, hlm. 202—203, Kutub Khanat Faidhi, Lahore)
.
Keyakinan bahwa seseorang bisa mempunyai ilmu kasyaf, yakni bisa menyingkap segala sesuatu dari perkara gaib atau batin. (Fadhail A’mal, bab “Zikir”, hlm. 540—541, cet. Kutub Khanat Faidhi, Lahore)
.
Hidayah dan keselamatan hanya bisa diraih dengan mengikuti tarekat Rasyid Ahmad al-Kanhuhi (Shaqalatil Qulub, hlm. 190). Oleh karena itu, Muhammad Ilyas, sang pendiri Jamaah Tabligh, berbai’at kepada tarekat Jisytiyah pada 1314 H, bahkan terkadang ia bangun malam semata-mata untuk melihat wajah syaikhnya tersebut. (Kitab Sawanih Muhammad Yusuf, hlm. 143, dinukil dari Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu an Tushahhah, hlm. 2)
.
Saling berbai’at terhadap pimpinan mereka di atas empat tarekat sufi: Jisytiyah, Naqsyabandiyah, Qadiriyah, dan Sahruwardiyah. (ad-Da’wah fi Jaziratil ‘Arab, karya asy-Syaikh Sa’d al-Hushain, hlm. 9—10, dinukil dari Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu an Tushahhah, 12)
.
Keyakinan tentang keluarnya tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kubur beliau untuk berjabat tangan dengan asy-Syaikh Ahmad ar-Rifa’i. (Fadhail A’mal, bab “Fadhail ash-Shalati ‘alan Nabi”, hlm. 19, cet. Idarah Isya’at Diyanat Anarkli, Lahore)
.
Kebenaran kaidah bahwa segala sesuatu yang menyebabkan permusuhan, perpecahan, atau perselisihan—walaupun hal itu benar—maka harus dibuang sejauh-jauhnya dari manhaj Jamaah. (al-Quthbiyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hlm. 10)
Keharusan untuk taklid. (Zikir wa I’tikaf Key Ahmiyat, karya Muhammad Zakariya al-Kandahlawi, hlm. 94, dinukil dari Jama’atut Tabligh ‘Aqaiduha wa Ta’rifuha, hlm. 70)
.
Banyaknya cerita khurafat dan hadits-hadits lemah/palsu dalam kitab Fadhail A’mal Di antaranya adalah yang disebutkan oleh asy-Syaikh Hasan Janahi dalam kitabnya, Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu an Tushahhah, hlm. 46—47 dan hlm. 50—52.
.
Bahkan, cerita-cerita khurafat dan hadits-hadits palsu inilah yang mereka jadikan sebagai bahan utama untuk berdakwah. Wallahul musta’an.
.
Fatwa Para Ulama tentang Jamaah Tabligh[6]
.
Asy-Syaikh al-’Allamah Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Siapa saja yang berdakwah di jalan Allah subhanahu wa ta’ala bisa disebut ‘mubaligh’, (artinya: Sampaikan apa yang datang dariku [Rasulullah], walaupun hanya satu ayat).
Akan tetapi, Tabligh India yang dikenal dewasa ini mempunyai sekian banyak khurafat, bid’ah, dan kesyirikan. Oleh karena itu, tidak boleh khuruj bersama mereka selain seorang yang berilmu, yang keluar (khuruj) bersama mereka dalam rangka mengingkari (kebatilan mereka) dan mengajarkan ilmu kepada mereka. Adapun khuruj semata-mata ikut dengan mereka, maka tidak boleh.”
.
Asy-Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi al-Madkhali berkata[7], “Semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz (atas pengecualian beliau tentang bolehnya khuruj bersama Jamaah Tabligh untuk mengingkari kebatilan mereka dan mengajarkan ilmu kepada mereka, –pen.), karena jika mereka mau menerima nasihat dan bimbingan dari ahlul ilmi, tidak akan ada rasa keberatan untuk khuruj bersama mereka.
.
Namun, kenyataannya mereka tidak mau menerima nasihat dan tidak mau rujuk dari kebatilan karena kuatnya fanatisme dan kuatnya mengikuti hawa nafsu. Jika mereka benar-benar menerima nasihat dari ulama, niscaya mereka telah meninggalkan manhaj yang batil itu dan akan menempuh jalan ahli tauhid dan Ahlus Sunnah. Nah, jika demikian permasalahannya, tidak boleh keluar (khuruj) bersama mereka sebagaimana manhaj as-salafush shalih yang berdiri di atas al-Qur’an dan as-Sunnah dalam hal tahdzir (peringatan) terhadap ahlul bid’ah dan peringatan untuk tidak bergaul serta duduk bersama mereka.
..
Hal itu (tidak bolehnya khuruj bersama mereka secara mutlak, –pen.) karena (perbuatan tersebut) termasuk memperbanyak jumlah mereka dan membantu menyebarkan kesesatan. Ini adalah penipuan terhadap Islam dan kaum muslimin, serta bentuk partisipasi bersama mereka dalam hal dosa dan kekejian. Lebih-lebih lagi, mereka saling berbai’at di atas empat tarekat Sufi yang padanya terdapat keyakinan hulul, wihdatul wujud, kesyirikan, dan kebid’ahan.”
.
Asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh[8] rahimahullah berkata, “Organisasi ini (Jamaah Tabligh, –pen.) tidak ada kebaikan padanya. Sungguh, ia adalah organisasi bid’ah dan sesat. Dengan membaca buku-buku mereka, benar-benar kami dapati kesesatan, bid’ah, ajakan kepada peribadatan terhadap kubur-kubur dan kesyirikan, sesuatu yang tidak bisa dibiarkan. Oleh karena itu—insya Allah— kami akan membantah dan membongkar kesesatan serta kebatilannya.”
Asy-Syaikh al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata, “Jamaah Tabligh tidaklah berdiri di atas manhaj al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta pemahaman as-salafus shalih.”
.
Beliau juga berkata, “Dakwah Jamaah Tabligh adalah dakwah Sufi modern yang semata-mata berorientasi kepada akhlak. Adapun pembenahan terhadap akidah masyarakat, sedikit pun tidak mereka lakukan karena—menurut mereka—bisa menyebabkan perpecahan.”
.
Beliau juga berkata, “Jamaah Tabligh tidak mempunyai prinsip keilmuan. Mereka adalah orang-orang yang selalu berubah-ubah dengan perubahan yang luar biasa, sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.”
.
Asy-Syaikh al-’Allamah Abdurrazzaq ‘Afifi[9] rahimahullah berkata, “Kenyataannya, mereka adalah ahlul bid’ah yang menyimpang dan orang-orang tarekat Qadiriyah serta lainnya. Khuruj mereka bukanlah di jalan Allah subhanahu wa ta’ala, tetapi di jalan Muhammad Ilyas. Mereka tidak berdakwah kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, tetapi kepada Muhammad Ilyas, syaikh mereka di Banglades.”
Demikianlah selayang pandang tentang hakikat Jamaah Tabligh, semoga menjadi nasihat dan peringatan bagi pencari kebenaran.
.
Wallahul muwaffiq wal hadi ila aqwamith thariq.
.
Ditulis oleh Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc
.
[1] Para pengikut Abu Manshur al-Maturidi yang menafikan (menolak) sebagian nama dan sifat Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka membatasi sifat Allah subhanahu wa ta’ala hanya tiga belas. (ed)
.
[2] Hal semacam ini sangat dilarang dalam agama menurut kesepakatan ulama. Memang, terdapat perbedaan pendapat jika tamimah atau ‘rajah’ tersebut dibuat hanya dari ayat al-Qur’an. Namun, yang kuat, hal ini tetap tidak diperbolehkan menurut banyak sahabat dan ulama yang setelah mereka. (- red.)
.
[3] Di antara zikir mereka adalah mengucapkan kalimat syahadat secara terpisah. Laa ilaaha dibaca sekian kali secara tersendiri, setelah itu baru membaca illallah dengan jumlah yang sama. Ini jelas bertentangan dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak merealisasikan kandungan tauhid dalam kalimat tersebut. (-red.)
.
[4] Untuk lebih rincinya, lihat kitab Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu an Tushahhah, hlm. 17—24.
.
[5] Untuk lebih rincinya, lihat kitab Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu an Tushahhah, hlm. 31—58.
.
[6] Dinukil dari Aqwal ‘Ulama as-Sunnah fi Jama’atit Tabligh, asy-Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi al-Madkhali, hlm. 2, 5, 6.
.
[7] Beliau pernah menjabat sebagai Ketua Jurusan As-Sunnah, Fakultas Hadits, Universitas Islam Madinah.
.
[8] Beliau adalah Mufti Kerajaan Saudi Arabia sebelum asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah.
.
[9] Beliau pernah menjadi anggota Haiah (Lembaga) Kibarul Ulama Saudi Arabia.
.
Berbicara Tentang Jama’ah Tablîgh
Oleh
Syaikh ‘Ali bin Hasan al-Halabi al-Atsari
.
Pembaca,
Naskah ini merupakan ringkasan dari keterangan Syaikh ‘Ali bin Hasan al-Halabi terhadap kitab Hâdzihi Da’watunâ Wa ‘Aqîdatunâ (Inilah Dakwah dan Aqidah Kami), karya Syaikh Muqbil bin Hâdi al Wadi’i pada point ke-16 tentang Jama’ah Tablîgh.  Penjelasan ini disampaikan Syaikh ‘Ali bin Hasan al-Halabi pada acara Daurah Syar’iyyah VIII, di Trawas, Mojokerto, yang berlangsung pada 29 Muharram – 6 Shafar 1429 H atau 7-13 Februari 2008.  Diterjemahkan oleh Ustadz Abu ‘Abdillah Arief Budiman bin Usman Rozali dengan beberapa tambahan subjudul dan footnote dari penterjemah. Peringkasan dilakukan karena keterbatasan halaman. Mohon maaf. (Redaksi).
.
JAMA’AH TABLÎGH MENGAMALKAN HADITS-HADITS DHA’IF DAN PALSU
.
Hal ini, salah satu hal berbahaya yang dimiliki oleh Jama’atut-Tablîgh. Mereka meriwayatkan segala hadits atau khabar yang ada, walaupun tanpa kendali dan tali kekang (maksudnya; tanpa sanad, Pent). Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
.
مَنْ يَقُلْ عَلَيَّ مَا لَمْ أَقُلْ، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ .
.
Barang siapa yang berkata atasku apa-apa yang tidak pernah aku katakan, maka tempatkanlah tempat duduknya di neraka.[1]
.
Dan dalam hadits yang lain:
.
إِنَّ كَذِباً عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ، فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّداً، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ .
.
Sesungguhnya kedustaan atasku tidak seperti kedustaan atas orang lain. Maka barang siapa yang berdusta atasku dengan sengaja, tempatkanlah tempat duduknya di neraka.[2]
.
Dan dalam hadits yang keempat, beliau bersabda:
.
مَنْ حَدَّثَ عَنِّيْ بِحَدِيْثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبَيْنِ .
.
Barang siapa yang mengatakan sebuah hadits dariku, dia mengira (menyangka) hadits tersebut dusta, maka ia salah satu di antara dua pendusta.[3]
.
(يُرَى) artinya (يُظَنُّ), yaitu “diperkirakan”.
Maka, perhatikanlah! Sekedar menyangka/mengira saja (sudah dianggap dusta), apalagi orang yang jahil (tidak tahu-menahu) terhadap hadits tersebut. Orang yang berkata: “Saya belum yakin, apakah hadits ini shahîh atau tidak shahîh?”. Hanya sekedar mengira saja, dan belum pasti dalam mengetahui apakah hadits tersebut shahih atau tidak shahîh, hal ini telah memasukkan pelakunya ke dalam golongan orang-orang yang tertuduh berdusta atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
.
Oleh karena itu, Imam Ibnu Hibbân rahimahullah menyebutkan hadits ini dalam muqaddimah kitabnya al-Majrûhîn dan muqaddimah kitâb ash-Shahîh-nya, beliau berkata: “Maka, orang yang ragu-ragu terhadap apa yang diriwayatkannya, sama seperti orang yang berdusta atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
.
Dalam hal ini, Jama’atut-Tablîgh memiliki keajabian-keajaiban dan keanehan-keanehan yang luar biasa. Hadits yang mereka sebutkan, jika seandainya pun shahîh, mereka tidak bisa mengucapkan lafazh-nya dan tidak memahami maknanya dengan baik dan benar. Dan hadits yang tidak shahîh, berupa hadits dha’îf, dha’îfun jiddan (lemah sekali), maudhû’ (palsu), dan yang tidak ada asal-usulnya sama sekali; pada mereka sangat banyak. Dan saya, bersama mereka dalam hal ini memiliki beberapa kisah dan khabar.
.
Suatu saat, salah seorang di antara mereka (Jama’atut-Tablîgh) menyebutkan sebuah hadits yang tidak ada asal-usulnya sama sekali. Maka, saya katakan kepadanya: “Hadits ini tidak ada asal-usulnya!”
.
Dia pun -dengan kebodohannya- menjawab: “Akan tetapi, hadits dha’îf boleh digunakan dalam fadhâ`ilul a’mâl (keutamaan-keutamaan dalam beramal, Pent)”.
.
Lihatlah, dia berkata haditsnya dha’îf…, padahal saya katakan -tadi- “Tidak ada asal-usulnya…”! Yakni, hadits tersebut dusta (palsu). Dia tidak bisa membedakan. Dia mengira bahwa kalimat “haditsnya dha’îf…” itu berlaku pula pada hadits palsu, hadits yang tidak ada asal-usulnya sama sekali, dan yang lemah sekali. Dia tidak mengetahui bahwa syarat pertama dari sekian syarat bolehnya berdalil dengan hadits dha’îf adalah tidak boleh terlalu parah ke-dha’if-annya.
.
Pada saat yang lain, salah seorang di antara mereka membaca hadits dari kitab Riyâdhush-Shâlihîn. Kalian tahu bahwa kitab Riyâdhush-Shâlihîn, tulisan (pada hadits-haditsnya) ber-harakat sempurna. Dia membacanya dengan tanpa kaidah sama sekali. Yang marfû’ (ber-harakat dhammah) dia baca manshûb (ber-harakat fat-hah), yang manshûb dibaca majrûr (ber-harakat kasrah), dan begitu seterusnya. Sampai akhirnya, ia sampai pada penyebutan sebuah hadits. Saya masih tetap diam memperhatikan. Ia pun menyebutkan hadits[4] dan berkata:
.
((اَلْمَلاَئِكَةُ تُصَلِّيْ عَلَى أَحَدِكُمْ مَا دَامَ فِيْ مَصْلاَهُ…)).
.
(Para malaikat akan bershalawat mendoakan kebaikan kepada salah seorang di antara kalian selama ia berada di mashlaahu…), sedangkan, lafazh hadits tersebut (seharusnya): ((…فِيْ مُصَلاَّهُ…)), “fî mushallâhu”. Yakni, di tempat shalatnya (masjidnya).
.
Kalian tahu perbedaan arti mashlâ (مَصْلَى) dan mushallâ (مُصَلَّى)?
Apa arti al-mashlâ (المَصْلَى)? mushallâ (المَصْلَى) artinya baitun-nâr (بَيْتُ النَّارِ), yakni rumah api, atau tempat pembakaran. Itulah makna al- mashlâ (المَصْلَى) secara bahasa.
.
Saya pun tidak bisa diam dan lantas berteriak: “Wahai Saudaraku! Mushallâhu… bukan mashlâhu!” Akhirnya, setelah shalat ia menghampiri saya dan beralasan: “Demi Allah, sebenarnya saya sedang sakit…”. Saya pun berkata: “Wahai Saudaraku! Kamu sakit? Mengapa tadi duduk di depan (berceramah)? Jangan duduk di sana berdusta atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam !”[5]
.
Imam Ibnu Hibban rahimahullah telah menukilkan dalam muqaddimah kitab-nya Raudhatul-‘Uqalâ`, beliau berkata: “Orang yang salah (keliru) dalam membaca hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sama seperti orang yang berdusta atasnya, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengucapkan hadits dengan keliru”. Apa yang dimaksud dengan keliru dalam pembacaan hadits? Yakni, ia merubah i’raab-nya (struktur bahasa) dan susunan katanya. Lihatlah, Rasulullah berkata “fii mushallâhu”, sedangkan dia berkata “fii mashlâhu”!.
.
Sebenarnya, saya masih banyak memiliki bermacam pengalaman bersama mereka. Sampai dalam masalah akidah sekalipun (mereka memiliki keanehan dan keajaiban). Dan tidak mengapa jika saya sebutkan lagi satu pengalaman saya bersama sebagian ikhwah saya, di salah satu masjid yang imam-nya salah seorang dari mereka (Jama’atut-Tablîgh).
.
Kawan-kawan kami, seperti biasa sering melakukan diskusi bersama imam masjid tersebut. Namun, ia pun sering menghindar dari kawan-kawan kami itu, dan tidak mau duduk-duduk bersama mereka. Sampai akhirnya datanglah sekelompok Jama’atut-Tablîgh dari Pakistan ke masjid tersebut. Sang imam pun termotivasi oleh kedatangan mereka. Hingga akhirnya ia sendiri yang mendatangi sekelompok kawan-kawan kami para pemuda salafiyyîn seraya berkata: “Saya adalah seorang ‘alim dari para ulama dakwah”.
.
Kemudian, datanglah seorang dari kawan kami dan berkata: “Saya ingin bertanya sebuah pertanyaan saja”.
Sang imam pun menjawab: “Silahkan”.
Pemuda tadi melanjutkan dan berkata: “Di manakah Allah?”
Sang imam terhenyak sejenak, ia melihat-lihat dan terdiam. Lalu tiba-tiba menjawab: “Silahkan kamu tanya kepada para masyayikh (ulama) negeri kalian!”
Pemuda itu pun langsung berkata: “Apakah Allah di negeri kalian berbeda dengan Allah di negeri kami?!”
Allah Maha Esa… Allah itu satu! Allah berfirman:
.
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ
.
Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?. [al-Mulk/67:16].
.
JAMA’AH TABLÎGH DAN BID’AH
.
Pada mereka terdapat bid’ah yang banyak. Bahkan dakwah mereka terbangun di atas bid’ah-bid’ah. Karena tiang penyangga utama dakwah mereka adalah al-khurûj (keluar), dengan aturan-aturan sebagai berikut. Yakni, dalam setiap bulan, (keluar) tiga hari. Dalam setahun, empat puluh hari. Dalam seumur hidup, empat bulan. Dan dalam satu pekan terdapat dua jaulah (perjalanan). Yang pertama, dilakukan di masjid yang dilakukan shalat di dalamnya, dan yang kedua berpindah-pindah. Dan dalam setiap hari terdapat dua halaqah (semacam pelajaran) [6]. Yang pertama, dilakukan di masjid yang dilakukan shalat di dalamnya, dan yang kedua dilakukan di rumah. Dan mereka tidak akan ridha dengan seseorang, kecuali jika orang tersebut berpegang teguh dengan aturan-aturan seperti ini. Sehingga tidak diragukan lagi, bahwa hal ini merupakan bid’ah dalam agama yang sama sekali tidak diizinkan oleh Allah.
.
Selain keterangan di atas, sebenarnya masih banyak bentuk bid’ah pada mereka. Akan tetapi, aturan-aturan seperti di atas telah menjerumuskan dalam sebuah bahaya besar. Yaitu, mewajibkan apa-apa yang semestinya tidak wajib”. Maksudnya, mereka mengharuskan orang agar konsisten dengan aturan-aturan seperti ini. Bahkan mereka menjadikan hal ini sebagai simbol dan standar kebaikan dan keburukan seseorang.
.
Jadi, jika Anda berpegang teguh dengan aturan-aturan mereka berupa khurûj selama empat bulan, tiga hari, atau empat puluh hari, maka kamu menjadi orang yang mereka ridhai. Dan jika kamu tidak demikian, maka kamu orang yang lalai dan lemah menurut mereka. Sampai-sampai, pernah suatu saat ketika kami berada di luar negeri (dalam rangka berdakwah, Pent), dan berjumpa dengan sekelompok dari mereka. Lalu mereka berkata kepada kami: “Khuruj-lah (keluarlah) kalian!”. Kami pun menjawab: “Ya, kami sekarang sedang khurûj (keluar). Kami dari Yordania, dan kini kami di Eropa. Kami sedang khurûj fî sabîlillâh (keluar di jalan Allah)!”
.
Ataukah khurûj yang mereka maksud harus dengan urutan-urutan dan batasan-batasan Jama’atut- Tablîgh? Demikianlah, yang ternyata mereka inginkan.
.
Sekarang kami di sini (Indonesia), meninggalkan negeri kami Arab dan datang ke sini. Ini disebut khurûj (keluar) atau dukhûl (masuk)? Ini khurûj! Tapi khurûj kami adalah khurûj yang berdasarkan ilmu, khurûj yang sesuai dengan manhaj, dan khurûj yang sesuai dengan akidah. Namun sayangnya, mereka (Jama’atut- Tablîgh) tetap tidak menganggapnya sama sekali.
.
Begitulah, bid’ah Jama’atut- Tablîgh sangat banyak.
.
Di antara bid’ah mereka ialah bid’ah tashawwuf. Jama’atut- Tablîgh mem-bai’at pengikut mereka yang sudah lama dan konsisiten dengan mereka dalam empat thariqat shufiyah, sebagaimana yang tertulis dengan tulisan Syaikh dan tokoh besar mereka (yang bernama) In’aam al-Hasan. Saya memiliki sebuah surat yang ia tulis langsung, yang ditujukan kepada Syaikh Sa’ad al-Hushayyin. Di dalam surat tersebut, In’aam al-Hasan berkata: “Kami mem-bai’at orang-orang lama dari para pengikut kami dalam berdakwah, atas empat thariqat shufiyah; asy-Syahrawardiyyah, an-Naqsyabandiyyah, al-Jisytiyyah, dan al- Qâdiriyyah”.
.
Selain itu, mereka pun memiliki kebiasaan mengusap-usap kuburan, ber-tabarruk dengan orang-orang shâlih, dan al-murâbathah (berdiam diri sambil menghadap ke satu arah tertentu, Pent).
.
Saya teringat peristiwa yang saya alami pada tahun 1982. Pada saat itu saya masih remaja. Saya pergi ke negeri al-Haramain asy-Syarîfain (Saudi Arabia), dan itulah ziaroh pertama saya ke negeri tersebut. Di sana, saya mencari sebagian masyayikh untuk mengambil ijazât hadits dari mereka, sebagaimana saya pun mengambil faidah dari sebagian mereka. Saya bertanya: “Di mana Syaikh Muhammad Zakariya al-Kandahlawi?”
.
Dia berkata: “Di sana, di Dârul-‘Ulûmisy-Syar’iyyah”. Dahulu dekat dengan al-Haram, dan kini dipindahkan ke al-Masjidun-Nabawi.
.
Maka saya pun pergi menuju ke tempat tersebut. Saya mengetuk pintu. Lalu keluarlah seseorang. Saya berkata kepadanya: “Saya ingin bertemu dengan Syaikh Muhammad Zakariya, saya dari Yordania, saya seorang penuntut ilmu”.
.
Orang itu berkata: “Syaikh tidak bisa bertemu denganmu!”
Saya bertanya: “Mengapa?”.
Ia menjawab: “Syaikh sedang ber-murâbathah menghadap kuburan!”
Begitulah! Ternyata dia sedang duduk di dalam ruangannya yang dekat dengan al-Haram sambil menghadap ke kuburan. Itulah yang disebut dengan al-murâbathah.
.
Inilah kenyataannya! Ia (Muhammad Zakariya Al Kandahlawi) memiliki karya tulis dengan judul Fadhâ-ilul A’mâl dan juga disebut dengan Tablîghi Nishâb. Adapun oleh saya, maka saya namakan Tablîghi Nashshâb, karena dipenuhi oleh hadits-hadits dha’if, khurafat, bid’ah-bid’ah, dan kesesatan-kesesatan lainnya. Wal ‘iyaadzu billaah. Demikian keadaan Jama’atut-Tablîgh dalam segala perkaranya.
.
Namun, agar adil dalam menilai, saya katakan, jika semangat dan keinginan kuat yang terdapat pada Jama’atut- Tablîgh ada pula pada para da’i salafiyyin, maka akan terjadi sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terjadi pada diri kita. Tetapi, sayangnya keinginan kuat dan semangat mereka dibangun di atas jahâlah (ketidaktahuan). Kegiatan mereka berdiri di atas bid’ah ini. Karena, kalau memang tidak demikian, pastilah didapat pada mereka ilmu yang benar, manhaj yang lurus, dan akidah yang shahîhah. Dan pastilah mereka memiliki peranan yang sangat besar dalam memperbaiki umat Islam ini. Akan tetapi, amat disayangkan -sekali lagi- justru mereka merusak umat ini dari sisi yang mereka anggap sedang mereka perbaiki.
.
JAMA’AH TABLÎGH DAN TAUHID ULUHIYYAH
.
Mereka tidak pernah berbicara masalah tauhid, terutama tauhid al-Ulûhiyyah dan al-Asmâ’ wash- Shifât. Mereka tidak berbicara masalah tauhid, melainkan hanya tauhid ar-Rububiyyah. Yakni, tentang siapakah Yang Maha Pencipta? Allah, Yang Memberi Rizki? Yang Maha Menghidupkan? Yang Maha Mematikan? Allah. Inilah yang menjadi kebiasaan dan dengungan mereka. Padahal, tauhid ini pun tidak diingkari sama sekali oleh orang-orang kafir dahulu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
.
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ۚ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ
.
Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, tentu mereka akan menjawab: “Allah”,… [Luqman/31:25].[7]
.
Akan tetapi, mereka (orang-orang kafir dan musyrik dahulu) tidak merasakan manfaat dari keimanan mereka terhadap tauhid rububiyyah. Keimanan mereka terhadap tauhid ar-Rububiyyah belum mengentaskannya dari lingkaran kekufuran. Sebab, mereka beriman terhadap tauhid ar-Rububiyyah, akan tetapi keliru dalam ber-tauhid al-Ulûhiyyah (peribadahan kepada Allah dengan segala macam bentuknya yang disyariatkan, Pent.), sebagaimana yang mereka ucapkan dalam firman Allah berikut:
.
مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ
.
…Kami tidak menyembah mereka (sesembahan-sesembahan selain Allah) melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya…. [az-Zumar/39:3].
.
Lalu datanglah Jama’atut-Tablîgh dan berkata: “Tidak! Ini (tauhid) membuat umat lari. Ini membuat umat menjauh (dari dakwah)”.
.
Oleh karena itu -sekali lagi- mereka tidak pernah menyinggung masalah tauhid ini. Mereka hanya berbicara masalah fadhâ-ilul a’mâl.
.
JAMA’AH TABLÎGH MENGANGGAP BID’AH LEBIH BAIK DARIPADA SUNNAH
.
Amir (pemimpin) mereka yang berada di al-Hudaidah pernah berkata: “Bid’ah yang menyatukan umat lebih baik daripada sunnah yang memecah-belah umat”!
.
Seorang yang ‘alim dan pandai dalam permasalahan agama seharusnya tidak berkata dengan sesuatu yang batil. Dia malah berkata:
.
بِدْعَةٌ تُجَمِّعُ النَّاسَ، خَيْرٌ مِنَ سُنَّةٍ تُفَرِّقُ بَيْنَهُمْ
..
(Bid’ah yang menyatukan umat lebih baik daripada Sunnah yang memecah-belah umat).
.
Na’udzu billâh! Sesungguhnya satu perkataan ini saja sudah cukup sebagai bukti tentang kebodohan mereka. Bagaimana mungkin sebuah bid’ah dapat mempersatukan umat? Lalu, apakah bid’ah memang dapat menyatukan umat? Seandainya pun sebuah bid’ah itu mampu menyatukan umat, sesungguhnya hal itu seperti firman Allah tentang Bani Israil (baca: kaum Yahudi, Pent) berikut:
.
تَحْسَبُهُمْ جَمِيعًا وَقُلُوبُهُمْ شَتَّىٰ
.
…kamu kira mereka itu bersatu, padahal hati mereka berpecah belah…. [al-Hasyr/59:14].
.
Sehingga, seandainya pun sebuah bid’ah mampu menyatukan umat, tetapi hal itu pada zhahir-nya saja. Adapaun pada batinnya, justru memecah-belah mereka. Ini berbeda halnya dengan Sunnah, seandainya pun secara zhahir terlihat memecah-belah umat, maka sungguh, pada hakikatnya justru menyatukan mereka.
.
Bukankah kalian tahu bahwa di antara nama-nama Al-Qur`an ialah al-Furqaan (pembeda)? Lalu, mengapa (disebut) al-Furqaan? Karena Al-Qur`an membedakan antara yang haq dan yang batil.
.
Dalam Shahîh al-Bukhâri:
.
…وَمُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَّقَ بَيْنَ النَّاسِ .
.
…dan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam memecah-belah antara manusia. [8]
.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memecah-belah manusia dengan al haq atau dengan kebatilan? Tentu dengan al-haq, dan beliau pun memerangi kebatilan. Demikian pula dengan para pengikut beliau. Mereka memecah-belah umat dengan al-haq; karena dengan al-haq, jelaslah semua yang batil dan para pelakunya. Sedangkan bid’ah, jika pun menyatukan umat, maka sesungguhnya menyatukan di atas kebatilan. Dan hakikat persatuan tersebut adalah persatuan di atas kerusakan dan kebinasaan.
.
JAMA’AH TABLÎGH DAN AHLUS-SUNNAH
.
Saya pernah mendengar ucapan salah seorang dari mereka, tatkala ia melihat sebuah kitab yang sedang saya baca yang membahas tentang jama’ah-jama’ah. Dalam kitab tersebut terdapat pembahasan tentang Jama’atut-Tablîgh. Dia berkata: “Kitab ini lebih berbahaya dari pada Yahudi dan Nashara!”
.
Saya yakin, orang itu belum membaca kitab tersebut; karena memang Jama’atut-Tablîgh tidak suka membaca. Mereka tidak suka menuntut ilmu! Ilmu mereka hanya terbatas pada Riyâdhush-Shâlihîn, Fadhâ-ilul A’mâl atau Tablîghi Nashshâb. Selain itu, tidak ada.
.
Seandainya pun ada, maka sesungguhnya hal itu berasal dari kesungguhan usaha pribadi tertentu saja. Sungguh indah perkataan Imam Abu Haatim ar-Raazi rahimahullah : “Tanda ahlul-bida’ ialah mencela ahlul-atsar (Ahlus-Sunnah)”.[9]
.
Sebagian ulama salaf berkata: “Tidaklah engkau melihat mubtadi’ (ahlul-bid’ah), melainkan pasti ia membenci ahlul-hadits (Ahlus-Sunnah)”.[10]
.
Tidak syak lagi, tatkala kita mengingkari dan menentang Jama’atut-Tablîgh, baik tentang kegiatan khurûj mereka, aturan-aturan mereka, maupun pemikiran-pemikiran mereka, dan segala penyimpangan mereka, maka pastilah mereka tidak akan ridha dengan kita. Mereka membenci kita. Mereka pun membenci apa yang kita dakwahkan kepada kaum muslimin. Padahal, tidaklah kita berdakwah, melainkan berdakwah kepada Sunnah.
.
Tatkala mereka mendakwahkan dan mengajak orang lain kepada golongan dan kelompoknya, kita senantiasa mengajak dan mendakwahkan manusia kepada Sunnah Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seorang penyair berkata:
.
فَحَسْبُكُمُ هَذَا التَّفَاوُتُ بَيْنَنَا وُكُلُّ بِنَاءٍ بِالَّذِيْ فِيْهِ يَنْضَحُ
.
Maka cukuplah bagi kalian perbedaan ini di antara kita
Dan setiap bangunan akan mengeluarkan apa yang ada di dalamnya
.
PANDANGAN JAMA’AH TABLÎGH TENTANG BELAJAR ILMU SYAR’I
Dalam pokok-pokok dakwah mereka yang enam, mereka menyatakan tentang “ilmu”. Akan tetapi, ilmu mereka hanya sebatas Riyâdhush-Shâlihîn, Hayâtush-Shahâbah, dan Fadâ-ilul A’mâl.
.
Hayâtush-Shahâbah untuk kalangan orang-orang Arab, sedangkan Fadâ-ilul A’mâl atau Tablîghi Nashshâb untuk orang-orang selain Arab.
.
Kitab Hayâtush Shahâbah terdiri dari empat jilid besar. Kemudian sebagian kawan kami -para penuntut ilmu- mentahqîq dan menyaring kembali isi kitab itu. Sehingga jadilah kini, kitab tersebut hanya dalam satu jilid saja. Hadits-hadits yang shahîh ternyata hanya dalam satu jilid saja. Adapun tiga jilid lainnya berisi hadits-hadits dha’if, palsu, sangat lemah dan munkar.
.
Kemudian, sebagian orang yang menginginkan kebaikan untuk kaum Muslimin dengan mencetak ulang kitab yang sudah merupakan intisari dari hadits-hadits yang shahih saja dalam satu jilid tersebut. Dalam jilid kitab tersebut -sengaja- ditulis “Cetakan umum untuk seluruh kaum Muslimin, terkhusus untuk Jama’atut-Tablîgh”. Mengapa ditulis demikian? Dengan tujuan pendekatan kepada mereka.
.
Akhirnya, dicetaklah dengan jumlah yang sangat banyak, dan dikirimkan ke salah satu Markaz terbesar Jama’atut-Tablîgh di Yordania sebanyak seribu kitab. Ternyata, apa yang mereka lakukan? Mereka membakar seluruh kibat itu.
.
Salah satu Amir mereka berdiri sambil memegang kitab itu dan berkata: “Kitab ini telah dipalsukan dengan mengatasnamakan Jama’atut-Tablîgh!” Padahal, seluruh yang ada dalam satu jilid kitab tersebut, hadits-haditsnya sudah disaring dan dipilih dalam keadaan shahih seluruhnya. Namun, ternyata warisan leluhur mereka jauh lebih mereka cintai daripada al-haq dan ahlul-haq, dan daripada Sunnah-nya Ahlus- Sunnah. Sungguh amat disesalkan!
.
Kemudian, salah satu bentuk kebencian mereka terhadap ilmu, jika kamu bertanya kepada salah satu tokoh ulama atau pembesar mereka dalam masalah fikih -misalnya-, lalu kamu berkata kepadanya: “Terjadi pada diri saya begini dan begitu, bagaimana hukumnya?” Maka ia akan berkata kepadamu: “Kami tidak membicarakan masâ`il (permasalahan fikih), kami hanya berbicara masalah fadhâ`il (keutamaa-keutamaan)!”
.
Saya memiliki bantahan terhadap jawaban mereka itu, bukankah fadhâ`il (keutamaan-keutamaan) itu ada dengan sebab masâ-il (permasalahan fikih)? Keutamaan segala sesuatu dapat kita ketahui dari kesimpulan permasalahan-permasalahan (fikih) yang ada.
.
Tatkala kita membicarakan -misalnya- seseorang yang hafal dan faham benar tentang fadhâ`ilush- shalâh (keutamaan-keutamaan shalat), apakah orang tersebut hanya sekedar hafal dan faham benar tentang fadhâ`ilush-shalâh, dan ia tidak pernah melakukan shalat?
.
Maka saya katakan di sini, al-Fadhâ`il (keutamaa-keutamaan dalam beramal), jika dibandingkan dengan al-masâ`il (permasalahan fikih), seperti wudhu` jika dbandingkan dengan shalat; yakni, apakah ada seseorang yang selalu berwudhu` tetapi sama sekali tidak pernah melakukan shalat? Kalau begitu, apa faidah dia berwudhu`? Bahkan wudhu` tersebut bisa menjadi penghujatnya kelak!
.
Jadi, apa fungsi seseorang mengetahui dan memahami al-Fadhâ`il (keutamaa-keutamaan dalam beramal), jika ia tidak mau mengetahui, menerapkan dan mempraktekkan al-masâ-il (permasalahan fikih)? Sedangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
.
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْراً يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ… .
.
Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, Allah akan jadikan ia pandai dalam agama….[11]
.
Berarti, jika mereka (Jama’atut-Tablîgh) tidak mau mengetahui al-haq, dan tidak mau perhatian terhadap al-haq, maka keadaan mereka yang jauh dari ilmu; merupakan salah satu tanda bahwa Allah tidak memberikan taufiq-Nya kepada mereka. Anggapan mereka, bahwa saat ini bukan waktu untuk menuntut ilmu! Mereka menyangka saat ini adalah waktu untuk berdakwah.
.
Apakah ada sebuah dakwah yang dilakukan tanpa dasar ilmu? Apakah boleh berdakwah tanpa ilmu?
.
PANDANGAN JAMA’AH TABLÎGH TERHADAP GOLONGAN LAIN
.
Mereka beranggapan, tidak ada keselamatan bagi manusia kecuali dengan menempuh jalan mereka. Mereka mengumpamakannya seperti kapal Nabi Nuh. Orang yang menaikinya selamat, dan orang yang tidak mau menaikinya binasa. Mereka berkata: “Sesungguhnya dakwah kami seperti kapal Nabi Nuh”. Hal ini telah kami dengar sendiri dari mereka di Yordania dan di Yaman.
.
Jama’atut-Tablîgh, bukan jama’ah sunnah. Dan sebenarnya, kalimat “safînatu Nuh” (سَفِيْنَةِ نُوْحٍ) “kapal Nabi Nuh”, kutipan dari Imam Malik rahimahullah, saat beliau membicarakan nilai penting Sunnah bagi seorang muslim. Kata beliau rahimahullah :
.
اَلسُّنَّةُ سَفِيْنَةُ نَوْحٍ، مَنْ رَكِبَهَا نَجَا، وَمَنْ تَخَلَّفَ عَنْهَا غَرِقَ.
.
(As-Sunnah bagaikan kapal Nabi Nuh. Barang siapa menungganginya, ia selamat. Dan barang siapa yang tertinggal darinya, ia binasa).[12]
.
Ternyata, mereka (Jama’atut-Tablîgh) menukilkan kalimat yang haq, untuk kemudian mereka letakkan pada sesuatu yang tidak haq. Sedangkan Allah Azza wa Jalla berfirman:
.
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
.
Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat. [‘Ali Imran/3:132].
.
Jadi, taat kepada Allah dan Rasul-Nya itulah Sunnah, yang jika seseorang tertinggal darinya, ia akan binasa, dan yang mengikutinya akan selamat. Bukan Jama’atut-Tablîgh, yang tidak memahami al-haq dan tidak memberikan hak yang semestinya kepada ahlul-haq.
.
PANDANGAN JAMA’AH TABLÎGH TERHADAP PENUNTUT ILMU SYAR’I
.
Mereka tidak siap untuk menuntut ilmu. Mereka beranggapan bahwa waktu yang digunakan untuk menuntut ilmu adalah sia-sia. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman, yang artinya: Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. [Yûsuf/12:108].
.
Yang dimaksud dengan al-bashîrah, ialah hujjah dengan ilmu dan pengetahuan. Oleh karena itu, Allah pun berfirman:
.
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ
.
Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu…-Hûd/11 ayat 112- dan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mungkin dipraktekkan dan dilaksanakan tanpa ilmu.
.
Allah berfirman pula:
.
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا
.
Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami…. -Sajdah/32 ayat 24- dan tidak mungkin (seseorang) memberikan petunjuk perintah Allah, melainkan dengan ilmu.
.
Sehingga, bagaimanakah mereka berdakwah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , dan mengira bahwa mereka berada di atas kebenaran dan petunjuk, sementara itu mereka tidak menuntut dan tidak menghormati ilmu sama sekali?
.
Saya pernah mendengar salah satu senior mereka memberikan perumpamaan untuk membuat orang tidak senang terhadap ilmu. Kurang lebih dia berkata: “Perumpamaan orang-orang yang menuntut ilmu dan tidak berdakwah, bagaikan seseorang yang mempelajari buku tentang teori belajar berenang. Dia mempelajarinya sampai benar-benar hafal dan menguasainya. Kemudian suatu saat, dia sedang berjalan di tepi pantai, lalu menjumpai seseorang yang sedang hampir tenggelam sambil berteriak-teriak meminta pertolongan. Tapi orang tadi (yang hafal buku teori berenang) justru berkata: “Tunggulah sebentar. Saya buka dulu buku teori belajar berenang. Saya akan baca cara menolong orang yang tenggelam”.
.
Lihatlah perumpamaan batil yang buruk ini! Wal ‘iyâdzu billâh!
.
Di manakah letak persamaan antara ilmu dan perumpamaan ini? Lagipula, apakah semua orang hanya sibuk dengan membaca dan mempelajari buku teori belajar berenang saja? Mereka mendapatkan perumpamaan seperti ini dari waswasatusy-syaithân (bisikan setan), sehingga membuat orang-orang tidak suka ilmu, dan akhirnya mereka pun jauh dari ilmu dan para ulama.
.
PERINGATAN!
.
Salah satu hal yang berbahaya pula pada Jama’atut-Tablîgh adalah merubah-rubah makna hadits dari makna yang sesungguhnya. Contohnya hadits yang berbunyi:
.
((مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَالاَ يَعْنِيْهِ)).
.
Dari (tanda-tanda) kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya.[13]
.
Apa yang mereka artikan dari makna hadits ini?
.
Mereka berkata: “Jika kamu melihat apapun yang terjadi di masjid, maka jangan kamu ingkari; karena Rasul telah bersabda … ,” mereka pun membawakan hadits tadi.
.
Lihatlah! Dengan pemahaman seperti itu, mereka membatalkan amar ma’rûf dan nahi munkar dengan hujjah hadits di atas. Ini adalah kebatilan!
.
Lalu, apakah amar ma’rûf dan nahi munkar tidak bermanfaat bagi kita? Hingga bisa-bisanya mereka berhujjah dengan hadits di atas? Inilah substansi kebatilan.
.
Demikianlah, sebagian bid’ah-bid’ah mereka. Wal ‘iyâdzu billâh Tabâraka wa Ta’ala.
.
Footnote
[1]. HR al-Bukhâri (1/52 no. 109), dan lain-lain, dari Salamah bin Al ‘Akwa’.
[2]. HR al-Bukhâri (1/434 no. 1229), Muslim (1/10 no. 4), dan lain-lain, dari al-Mughiirah bin Syu’bah a.
[3]. HR Muslim dalam Muqaddimah Shahîh-nya (1/8), dari al-Mughiirah bin Syu’bah a.
[4]. HR al-Bukhâri (1/171 no. 434), Muslim (1/459 no. 649), dan lain-lain, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Dan lafazh hadits di atas dalam Shahîh al-Bukhâri.
[5]. Apa hubungan antara penyakitnya dengan kesalahan dalam membaca harakat pada hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas? Sungguh sebuah alasan yang secara zhahirnya mengada-ada dan tidak tepat pula. Wallahul- Musta’ân. (Pent).
[6]. Orang mungkin memahami ; bukankah ini hanya aturan untuk ketertiban seperti jam dan jadwal sekolah? Jawabannya : Tidak demikian, sebab autran yang mereka buat sebagai disiplin beragama, sedangkan jam dan tanggal hanya aturan administrasi dan tidak terkait dengan disiplin beragama.
[7]. Lihat pula ayat-ayat serupa dalam Surat al-‘Ankabût/29 ayat-61, az-Zumar/39 ayat-38, dan az-Zukhruf/43 ayat 9. (Pent).
[8]. HR al-Bukhâri (6/2655 no. 6852) dari hadits Jabir bin Abdillah.
[9]. Lihat Syarhu Ushûli I’tiqâdi Ahlis-Sunnati wal-Jamâ’ah (1/200), karya al-Imam Abul-Qâsim Hibatullah bin al-Hasan bin Manshûr ath-Thabari al-Lâlikâ`i (418 H).
[10]. Lihat Dzammul-Kalâmi wa Ahlihi (2/72 no. 229), karya Abu Isma’il ‘Abdullah bin Muhammad al- Anshâri al-Harawi (396-481 H).
[11]. HR al-Bukhâri (1/39 no.71), Muslim (2/718 no. 1037), dan lain-lain, dari hadits Mu’awiyyah bin Abi Sufyan.
[12]. Lihat Dzammul-Kalâmi wa Ahlihi (5/80-81 no. 872).
[13] HR at-Tirmidzi (4/558 no. 2317), Ibnu Majah (2/1315 no. 3976), dan lain-lain, dari Abu Hurairah.
Dan hadits ini dishahîhkan oleh Syaikh al-Albani v dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi (2/530-531 no. 2317), Shahîh Sunan Ibnu Majah (3/302 no. 3226), dan kitab-kitab beliau lainnya