Antara Tengku Zulkarnain, Ingkari Allah DiatasLangit, Lecehkan Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat Dengan Menyebut Babi, Mami,dll, Aqidah Salafush Shalih Ahlus Sunnah wal Jama’ah =Aqidah Yahudi & Nasrani Sebab Meyakini Allahﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻭ ﺗﻌﺎﻟﻰٰ Bersemayam Di Atas ‘Arsy.

Alhamdulillah

Al Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat- Allah bersemayam di atas ‘Arsy dan Menjawab syubuhat terkait “DIMANA ALLAH?

Bagian Pertama dalil-dalil dari Al Qur-an dan Hadits yang menetapkan Allah bersemayam di atas ‘arsy. Sekaligus bantahan kepada Tengku Zulkarnaen atas pendapatnya yang bertentangan dengan dalil.

Bagian yang kedua berisi kisah dialog antara dua orang Al Faqih, yaitu al Imam Abu Ja’far Al Hafizh dengan al Imam Abul Ma’ali Al Juwaini yang terkenal dengan nama Imamul Haramain dari pembesar Asy’ariyyah

 https://youtu.be/bCmC6hHWfiY

Bagian yang ketiga merupakan perkataan dari al Imam Abul Hasan Al Asy’ari dalam menetapkan sifat Allah Al’Uluw dan Istiwa alal ‘Arsy. .

Video ketiga: https://m.youtube.com/watch?v=dZiQSqp5f8U

Tengku Zulkarnain Ingkari Allah Bersemayam diatas Arsy  

SILSILATUDZ DZAHAB 1 | DIMANAKAH ALLAH ? | DAN BANTAHAN TERHADAP TENGKU ZULKARNAIN

SILSILATUDZ DZAHAB 2 | DIMANAKAH ALLAH ? | DAN BANTAHAN TERHADAP TENGKU ZULKARNAIN 

SILSILATUDZ DZAHAB 3 | DIMANAKAH ALLAH ? | DAN BANTAHAN TERHADAP TENGKU ZULKARNAIN 

Video Ingkari Allah Diatas Langit, Tengku Zulkarnain
Juga Lecehkan Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat 

Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja / Allah Diatas Arsy 

Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja / Allah Diatas Langit


______________

Allah سبحانه و تعالىٰ Bersemayam di atas ‘Arsy.

_Muhammad ibn Bundar pernah berkata kepada al-Imam Ahmad : “Wahai Abu Abdillah, sesungguhnya saya merasa berat hati untuk mengatakan ‘si fulan pendusta!!’.” Ahmad menjawab : “Seandainya kamu diam dan saya juga diam, lantas.kapan orang yang jahil mengetahui mana yang benar dan mana yang salah?!! (Al-Kifayah fi Ilmi Riwayah al-Baghdadi hlm. 63 , al- Abathil wal Manakir al-Jauzaqani 1/133, al-Maudhu’at Ibnul Jauzi 1/43, Syarh ’Ilal Tirmidzi Ibnu Rajab hlm. 88)._

_Bangkitlah wahai jiwa untuk membela agama Allah, walau akan banyak komen negatif yang akan kau hadapi._

_Pernah ada seorang berkata kepada Yahya bin Main : ” Apakah engkau tidak khawatir bila orang-orang yangnengkau kritik tersebut kelak menjadi musuhmu di hari kiamat ?.

Beliau menjawab : “Bila mereka yang menjadi musuhku jauh lebih kusenangi daripada Nabi yang menjadi musuhku, tatkala.beliau bertanya padaku: ” Mengapa kamu tidak membela sunnahku dari kedustaan?!!! “.(Al-Kifayah fi Ilmi Riwayah, al-Khathib al Baghdadi hal. 6).

Beredar video KH. Tengku Zulkarnain حفظه الله تعالىٰ yang mengingkari Allah سبحانه و تعالىٰ bersemayam di atas ‘Arsy, kemudian beliau mengolok-olok ‘aqidah Salafush Shalih, Ahlus Sunnah wal Jama’ah seperti ‘aqidahnya Yahudi dan Nashrani karena meyakini Allah سبحانه و تعالىٰ bersemayam di atas ‘Arsy.

Tak ketinggalan beliau juga melecehkan kehormatan al-Ustadz ‘Abdul Hakim bin Amir Abdat حفظه الله تعالىٰ dengan sebutan ‘mami’ yang sebelumnya didahului ungkapan pendusta dan babi…

Saya tak habis pikir mengapa ada seorang ustadz atau da’i yang bisa mengingkari keberadaan Allah سبحانه و تعالىٰ di atas langit? Sementara di dalam menyanggah pendapat (argumentasi) ini tidak ada satu pun dalil yang beliau berikan kecuali kata-kata umpatan dan cacimaki kepada saudaranya… tidakkah beliau ingat hadits Nabi ﷺ akan hal ini?

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash رضي الله تعالىٰ عنهما, ia berkata,

Rasulullah ﷺ bersabda, “Seorang muslim, ialah orang yang kaum muslimin selamat dari lidah dan tangannya.”

(Shahiih, HR. Al-Bukhari dalam Shahiih-nya, kitabul ‘Iimaan, bab Al-Muslimu man salimal muslimuu-na min lisaanihi wa yadihi, no. 10, 6044, Muslim, no. 40, Abu Dawud, no. 2481, dan An-Nasaa’i, VIII/105)

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud رضي الله تعالىٰ عنه, ia berkata,

Rasulullah ﷺ bersabda, “Memaki (mencela) seorang muslim adalah perbuatan fasiq dan memeranginya (membunuhnya) adalah kekufuran.”

(Shahiih, HR. Al-Bukhari, no. 11, 48, 6044, 7076, Muslim, no. 42, 64, at-Tirmidzi, no. 1988, 2633, 2639 – 2640, Ibnu Majah, no. 69, 3939, dan an-Nasaa-i, VII/122)

Dari Abu Hurairah رضي الله تعالىٰ عنه, ia berkata,

Rasulullah ﷺ bersabda, “Cukuplah seseorang dikatakan buruk jika sampai menghina saudaranya sesama muslim. Seorang muslim wajib menjaga darah, harta dan kehormatan muslim lainnya.” (Shahiih, HR. Muslim, no. 2564)

Rasulullah ﷺ bersabda, “Seorang muslim bukanlah orang yang suka mencela, melaknat, melakukan perbuatan keji dan mencacimaki muslim lainnya.” (Shahiih, HR. At-Tirmidzi, no. 1978)

Kembali kepada topik permasalahan.

KH. Tengku Zulkarnain mengingkari Allah سبحانه و تعالىٰ bersemayam di atas ‘Arsy. Dan menganggap ‘aqidah ini sama persis dengan ‘aqidah Yahudi dan Nashrani sehingga siapa saja yang mengimami ‘aqidah tersebut sesat karena menyerupai ‘aqidah Yahudi dan Nashrani.

Baik, disini ada pertanyaan :

Sesungguhnya yang mengetahui (paham) tentang Allah itu siapa?”

Al-Jawaab :

Tentu Allah itu sendiri.”

Benar, jika yang mengetahui tentang Allah adalah Allah itu sendiri, maka mengapa kita persoalkan (baca : protes) jika Allah سبحانه و تعالىٰ menyatakan bahwa Dia bersemayam di atas ‘Arsy? Sebab bukankah Allah sendiri yang menyatakan Dia bersemayam di atas ‘Arsy dengan segala keagungan dan kemuliaan-Nya? Lantas kemudian koq bisa beliau menyamakan ‘aqidah Salafush Shalih, Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang menetapkan Allah سبحانه و تعالىٰ bersemayam di atas ‘Arsy dengan segala keagungan dan kemuliaan-Nya sama dengan ‘aqidah Yahudi dan Nashrani kemudian dikatakan sesat bahkan kafir?

Jikalau kita konsisten dengan pendapat, ‘yang mengetahui tentang Allah adalah Allah itu sendiri’, lantas mengapa kita harus ribut (baca : komplain)? Cukup bagi kita imani bahwasanya bersemayamnya Allah سبحانه و تعالىٰ tidak sama dan tidak serupa dengan makhluk. Dia bersemayam sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya, sebagaimana kita imani Allah سبحانه و تعالىٰ Maha Mendengar dan Maha Melihat, pun manusia juga mendengar dan melihat, akan tetapi kita tidak menyerupakan pendengaran dan penglihatan Allah dengan makhluk bukan? Kalau demikian begitu juga dengan semayamnya Allah سبحانه و تعالىٰ di atas ‘Arsy, bahwasanya Dia bersemayam sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya, berbeda dengan makhluk.

Bukankah Allah سبحانه و تعالىٰ di dalam al-Qur-an dan Rasulullah ﷺ di dalam banyak hadits serta keterangan para ‘ulamaa Salaf menunjukkan Allah سبحانه و تعالىٰ di atas langit, Dia bersemayam di atas ‘Arsy?

Dalil dari al-Qur-an :

Allah سبحانه و تعالىٰ berfirman :

“Sungguh, Rabbmu adalah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS. Al-A’raaf [7] : 54)

Allah سبحانه و تعالىٰ berfirman :

Sesungguhnya Rabb kamu Dia-lah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy untuk mengatur segala urusan.” (QS. Yuunus [10] : 3)

Allah سبحانه و تعالىٰ berfirman :

Allah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS. Ar-Ra’d [13] : 2)

Allah سبحانه و تعالىٰ berfirman :

Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih), bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS. Thahaa [20] : 5)

Allah سبحانه و تعالىٰ berfirman :

Dia yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS. Furqaan [25] : 59)

Allah سبحانه و تعالىٰ berfirman :

Allah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS. As-Sajdah [32] : 4)

Allah سبحانه و تعالىٰ berfirman :

Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS. Al-Hadiid [57] : 4)

Allah سبحانه و تعالىٰ berfirman :

“Sudah merasa amankah kamu, bahwa Dia yang di langit tidak akan membuat kamu ditelan bumi ketika tiba-tiba berguncang?” (QS. Al-Mulk [67] : 16)

Dalil dari As-Sunnah :

Dari Mu’awiyah bin Hakam as-Sulami رضي الله تعالىٰ عنه, ia berkata,

Rasulullah ﷺ bersabda kepada seorang budak wanita,

Di mana Allah?”

Ia menjawab,

Allah di atas langit.”

Lalu Rasulullah ﷺ bersabda,

Siapa aku?”

Engkau adalah Rasulullah.”

Jawabnya.

Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda,

Merdekakanlah ia, karena sesungguhnya ia seorang wanita mukminah.”

(Shahiih, HR. Muslim, no. 537, Abu ‘Awanah, II/141 – 142, Abu Dawud, no. 930, an-Nasaa-i, III/14 – 16, ad-Darimi, I/353 – 354, Ibnul Jarud dalam al-Muntaqaa’, no. 212, al-Baihaqi, II/249 – 250, dan Ahmad, V/447 – 448)

Terdapat dua permasalahan yang terkandung di dalam hadits ini :

1. Disyari’atkan untuk bertanya kepada seorang muslim : “Di mana Allah?”

2. Jawabannya yang ditanya adalah : “Di atas langit.”

Maka, barangsiapa yang memungkiri dua masalah ini, berarti ia memungkiri Rasulullah Muhammad ﷺ.”

(Mukhtasharul ‘Uluw oleh Imam Adz-Dzahabi رحمه الله تعالىٰ, hal. 81)

Dari Jabir bin ‘Abdillah رضي الله تعالىٰ عنهما, ia berkata ketika Nabi ﷺ setelah berkhutbah di Arafah. Lalu Nabi ﷺ mengatakan dengan mengangkat jari telunjuknya ke atas langit dan mengisyaratkan kepada manusia dengan bersabda,

“Ya Allah, saksikanlah. Ya Allah saksikanlah. Ya Allah saksikanlah.” (Shahiih, HR. Muslim, no. 1218)

Beberapa perkataan para ‘ulamaa Salaf.

Imam Abu Hanifah رحمه الله تعالىٰ berkata,

Allah سبحانه و تعالىٰ ada di langit, tidak di bumi.”

Kemudian ada seseorang yang bertanya,

“Tahukah anda Allah ﷻ berfirman : ‘Wahuwa ma’akum – Dan Allah bersama kalian?’”

Beliau رحمه الله تعالىٰ menjawab,

“Ungkapan itu seperti kamu menulis surat kepada seseorang : ‘Aku akan selalu bersamamu.’ Padahal kamu jauh darinya.” (Al-Asma’ was Shifat, II/170)

Beliau رحمه الله تعالىٰ juga berkata,

Dalam berdo’a kepada Allah سبحانه و تعالىٰ kita memanjatkan do’a ke atas, bukan ke bawah.” (al-Fiqh al-Absath, hal. 51)

Beliau رحمه الله تعالىٰ juga berkata,

Barangsiapa yang berkata, ‘Aku tidak tahu Rabbku itu dimana, di langit atau di bumi.’ Maka orang itu kafir. Demikian pula orang yang berkata, ‘Rabbku di atas ‘Arsy, namun aku tidak tahu ‘Arsy itu di langit atau di bumi.’” (al-Fiqh al-Absath, hal. 46)

Imam Malik رحمه الله تعالىٰ pernah ditanya,

Wahai Abu ‘Abdillah, Allah Yang Maha Pengasih bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS. Thahaa [20] : 5)

Maka bagaimana Dia bersemayam?’

Maka mendengar pertanyaan itu Imam Malik رحمه الله تعالىٰ pun marah seraya menjawab,

Istiwa’-nya Allah ma’lum (sudah diketahui maknanya), dan kaifiyat (cara bersemayamnya) tidak dapat dicapai nalar (tidak diketahui), dan beriman kepadanya wajib, dan bertanya tentang hal tersebut adalah perkara bid’ah.

Kemudian Imam Malik رحمه الله تعالىٰ memerintahkan orang itu agar dikeluarkan dari majelis beliau.”

(Syarhus Sunnah lil Imaam al-Baghawi, I/171, Mukhtasharul ‘Uluw lil Imaam adz-Dzahabi, hal. 141 – 142, no. 104, Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, VI/325 – 326, ‘Utsman bin Sa’id ad-Darimi dalam Ar-Rad ala al-Jahmiyah, hal. 55, al-Lalika’i dalam Syarh Ushul I’tiqaad Ahlus Sunnah wal Jama’ah, no. 664, Abu ‘Utsman ash-Shabuni dalam ‘Aqidah Salaf Ash-Shabul Hadits, hal. 24 – 26, al-Baihaqi dalam al-Asma’ was Shifat, hal. 408, dan Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fat-hul Baari, XIII/406 – 407)

Imam Asy-Syafi’iy رحمه الله تعالىٰ berkata,

Berbicara tentang sunnah yang menjadi pegangan saya, sahabat-sahabat saya, begitu pula para ahli hadits yang saya lihat dan saya ambil ‘ilmu mereka, seperti Sufyan, Malik bin Anas dll, adalah menetapkan seraya bersaksi bahwa tidak ada Rabb yang berhak diibadahi selain Allah, serta bersaksi bahwa Allah itu di atas ‘Arsy di langit, dan dekat dengan makhluk-Nya, terserah kehendak Allah, dan Allah itu turun ke langit terdekat (dunia) kapan Allah berkehendak.”

Imam Ahmad bin Hanbal رحمه الله تعالىٰ berkata,

Kami mengimani bahwa Allah سبحانه و تعالىٰ ada di atas ‘Arsy bagaimana yang Dia berkehendak dan seperti apa yang Dia kehendaki, tanpa batasan dan sifat yang dipakai oleh seseorang untuk mensifati dan membatasi sifat itu.”

(Dar’u Ta’arudh Al-‘Aql wan Naql, II/30)

Yaa, Allah Maha Tinggi lagi Maha Mulia. Dia bersemayam di atas ‘Arsy-Nya dan terpisah oleh makhluk-Nya.

Dari Abu Hurairah رضي الله تعالىٰ عنه, ia berkata,

Rasulullah ﷺ bersabda,

Rabb kita (Allah) turun pada setiap malam ke langit dunia ketika tinggal sepertiga malam yang akhir, seraya menyeru :

Siapa yang berdo’a kepada-Ku, maka Aku akan mengabulkan do’anya.

Siapa yang meminta kepada-Ku, maka Aku akan memberinya.

Dan siapa yang memohon ampunan kepada-Ku, maka Aku akan mengampuninya.’”

(Shahiih, HR. Al-Bukhari, no. 7494, Muslim, no. 758 [168], at-Tirmidzi, no. 3498, Abu Dawud, no. 1315, 4733, Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah, no. 492, dan Ibnu Khuzaimah dalam kitab at-Tauhid, I/280)

Abu ‘Utsman ash-Shabuni رحمه الله تعالىٰ berkata,

Para ‘ulamaa ahli hadits menetapkan turunnya Rabb ke langit terendah pada setiap malam tanpa menyerupakan turun-Nya Allah itu dengan turunnya makhluk (tasybih), tanpa mengumpamakan (tamtsil) dan tanpa menanyakan bagaimana turun-Nya (takyif). Tetapi menetapkan sesuai dengan apa-apa yang ditetapkan oleh Rasulullah Muhammad ﷺ dengan mengakhiri perkataan padanya (tanpa komentar lagi), memperlakukan kabar shahiih yang memuat hal itu sesuai dengan zhahirnya, serta menyerahkan ‘ilmunya (kaifiyatnya) kepada Allah سبحانه و تعالىٰ.”

(‘Aqiidatus Salaf Ash-haabil Hadits, no. 38, hal. 46)

Inilah ‘aqidah Islam, ‘aqidah yang kokoh karena berdiri di atas Kitabullah dan As-Sunnah Rasulullah ﷺ dan ijma’ para ‘ulamaa serta fitrah manusia yang meyakini Allah سبحانه و تعالىٰ Maha Tunggi yang bersemayam di atas ‘Arsy dengan segala keagungan dan kemuliaan-Nya.

Semoga Allah تبارك و‏تعالىٰ memberikan hidayah dan taufiq.

✒ Abu ‘Aisyah Aziz Arief_

Menafikan Allah di atas Arsy-Nya, bukan Akidah Ahlussunnah Waljamaah… karena itu bertentangan dengan  Alqur’an, Assunnah, Ijma’ Sahabat, dan fitrah alami manusia.

=====

Apapun retorika yang  dipakai… dan siapapun yang  menjadi rujukan… jika itu menyelisihi Alqur’an, Assunnah, dan Ijma’ para sahabat = maka tetap saja harus ditinggalkan, karena itu kebatilan.

Sudah sangat tegas Allah berfirman

{ الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى} [طه: 5]

 (yang artinya): “Allah yang  maha penyayang itu berada di atas Arsy” [QS. Thaha: 5].

Peristiwa Isra’

Peristiwa Isra’ dan Mi’raj yang  sangat masyhur, juga sangat tegas menjelaskan bahwa Nabi -shallallahu alaihi wasallam- akhirnya di bawa ke atas menghadap Allah, untuk menerima syariat shalat lima waktu.

Dan ketika itu beliau melewati langit pertama hingga langit ketujuh, kemudian naik lagi hingga menemui Rabbnya -subhanahu wa ta’ala.. ini jelas menunjukkan bahwa Allah berada di atas makhluk-Nya, tidak ada yang  lebih tinggi dari-Nya.

Sahabat Ibnu Mas’ud -radhiallahu anhu- juga berkata:

Jarak antara langit dunia dengan langit setelahnya adalah jarak perjalanan 500 tahun, jarak antara setiap dua langitnya adalah 500 tahun, jarak antara langit.ketujuh dengan Alkursi adalah 500 tahun, jarak antara Al-kursi dengan air adalah 500 tahun, dan Arsy di atas.air itu, dan Allah -jalla dzikruhu- di atas Arsy, tapi Dia mengetahui apapun yg antum lakukan”.

[HR. At-Thabarani dalam Al-Mu’jamul Kabir: 8987, sanadnya hasan].

Bahkan Ibnu Abdil Barr -rohimahulloh- (wafat 463 H) telah mengatakan, bahwa seluruh ulama dari generasi Sahabat dan Tabi’in mengatakan bahwa Allah itu di.atas Arsy. [Lihat: Attamhid 7/138-139].

Jika Anda masih sulit menerima keterangan ini, cobalah merenung saat Anda berdoa, mengapa tangan Anda menengadah ke atas? Mengapa juga hati Anda menghadap ke atas? bisakah Anda mengingkari fitrah ini.

Dan masih banyak lagi, dalil-dalil yg menunjukkan bahwa Allah berada di atas, berada di atas Arsy-Nya… tidak sepantasnya orang yg mengaku berakidah ahlussunnah waljama’ah menolak keterangan ini, hanya.karena akalnya tidak mampu memahaminya dg baik dan dg tetap mensucikan Allah dari menyerupai makhluk- Nya.

Harusnya kita menerima kabar langit yg bersanad shahih tersebut dg apa adanya, memaknainya sesuai.dengan kemuliaan dan keagungan Allah ta’ala, dengan tanpa mentakwilnya, atau menyerupakan Allah dg makhluk-Nya.

Seringkali orang menolak nash syariat, karena adanya kaidah yg dia anggap bertentangan dg nash tersebut, contoh mudahnya: sebagian orang menolak ketentuan hukum waris dalam Alquran, karena membedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan, hal itu dia anggap bertentangan dg kaidah keadilan Allah.

Padahal sebenarnya “keadilan” itu tidak harus berarti persamaan, tapi keadilan adalah memberikan sesuatu sesuai dg keadaan dan kebutuhan masing-masing.

Tentunya kebutuhan anak laki-laki jauh lebih banyak daripada kebutuhan anak perempuan.

(Anak laki-laki saat menikah harus memberikan mahar, sedang yg perempuan malah mendapatkan mahar… saat sudah menikah, anak laki-laki harus menafkahi isterinya, sedang anak perempuan, malah mendapatkan.nafkah dari suaminya… saat ada yg terjatuh dalam pembunuhan secara tidak sengaja, saudara laki-laki harus menanggung diyat-nya, sedang yg perempuan tidak).

Hal ini juga terjadi dalam bab sifat-sifat Allah, sebagian orang menolak kabar tentang sebagian sifat Allah, karena dlm pandangan dia, hal itu tidak sesuai dg kaidah bahwa Allah tidak menyerupai makhluk-Nya..Padahal kriteria “tidak menyerupai makhluk” itu tidak berarti harus menafikan atau mentakwil sifat tersebut,

tapi bisa juga dg menetapkan sifat itu sesuai kemuliaan dan keagungan Allah, yg sangat jauh berbeda dg.makhluk-Nya… Dan inilah yg harusnya diambil oleh.seorang hamba yg menjunjung tinggi Firman Allah dan Sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam.

Ibnul Qoyyim -rahimahullah- telah menyebutkan perkataan yg pantas ditorehkan dg tinta emas dalam.hal ini, beliau mengatakan:

Adapun kita membuat suatu kaidah, dan kita katakan itulah hukum asalnya, kemudian kita menolak Assunnah.(Hadits) karena alasan menyelisihi kaidah itu, maka.sungguh demi Allah, merusak SERIBU kaidah yg tidak.dibuat Allah dan Rasul-Nya lebih wajib bagi kita, daripada menolak SATU hadits“. [I’lamul Muwaqqi’in 2/252].

Dan jauh sebelum itu, Imam Syafi’i -rahimahullah- telah.mengatakan:

Tidak boleh ada qiyas, bila sudah ada khabar”. [Ar- Risalah, hal: 599].. dan itu berarti: “Tidak boleh ada ijtihad, bila sudah ada nash yg menjelaskan”, karena qiyas dan ijtihad menurut beliau adalah dua kata yg.satu makna. [Ar-Risalah, hal 477].

Sehingga bila sudah ada nash yg menjelaskan tentang dimana keberadaan Allah dan sifat-sifat Allah lainnya, maka tunduklah kepada nash-nash itu, dan buanglah.semua ijtihad kita.. lalu nafikan semua konsekuensi batil.yg berasal dari kepala kita yg lemah ini..Karena nash yg haq, pasti punya konsekuensi yg haq, dan itulah yg harusnya diambil.

Bila Anda menemukan konsekuensi yg batil dari nash yg haq, maka yakinlah bahwa konsekuensi yg batil itu pasti dari akal Anda yg lemah, dan itulah yg harus Anda buang. Nash yg haq tidak mungkin menunjukkan kebatilan bila.dipahami dg baik dan lurus.

Inilah manhaj ulama salaf kita, manhaj ahlussunnah waljama’ah dalam bab sifat-sifat Allah ta’ala. wallahu a’lam.

Oleh: https://mobile.facebook.com/addariny.abuabdillah

(Lanjut ke halaman 2)