Kewajiban Berpuasa dan Berhari Raya bersama Pemerintah & Cara Menentukan Awal dan Akhir Ramadhan Menurut Syari’at ?

Oleh. Sofyan Chalid bin Idham Ruray –

Alhamdulillah

Washshalātu wassalāmu ‘alā rasūlillāh, wa ‘alā ālihi wa ash hābihi ajma’in 

1. Menentukan Awal Ramadhan Dengan Hilal

2. Metode Hisab Wujudul Hilal dan Imkanur Ruyah

3. Berpuasa Bersama Pemerintah

4. Puasa dan Berhari Raya Bersama Pemerintah

5. Mengikuti Ormas ataukah Pemerintah dalam Berpuasa

6. Sabar Menunggu Keputusan Pemerintah berpuasa dan berhari raya

7. Mari Berpuasa dan Berhari Raya bersama

8. Saudaraku, Wajib Bagi Kita Mengikuti pemerintah dalam menentuan awal dan akhir ramadhan

******

Meraih Kesuksesan Ibadah Pada Bulan Ramadhan-Ust Yazid Abdul Qadir Jawas 8mb
81 Audio Kajian Tentang Ramadhan Radiorodja

Kewajiban Ketaatan Kepada Pemerintah Dalam Penetapan Hilal -Ust Firanda Andirja 8Mb

Penentuan Ramadhan dan Hari Raya oleh Dr. Muhammad Arifin Badri, MA.

Penentuan Awal Bulan (Ramadhan dan Syawwal)-Ust Zainal Abidin Syamsudin

Abdullah Roy · Bekal-Bekal Menuju Ramadhan Mubarak

Menyambut Bulan Seribu Bulan 23Mb

Orang-Orang yg Mendapat Keringanan Tidak Berpuasa 21Mb

Puasa Ramadhan hingga Penentuan Awal Ramadhan yang Benar – Kitab Umdatul Ahkam (Ustadz Abu Qatadah)

Penentuan Awal.Ramadhan Sahur Puasa dan Anjurannya-hingga Pembatal-pembatal Puasa 

POTRET PARA SALAF DI BULAN RAMADHANUstadz Abdul Adhim al-GhoyamiHafizhahullah

PEMBATAL PAHALA SUATU AMALAN Ustadz Arif Fathul Ulum,Lc -Hafizhahullah

Meraih Kesuksesan Ibadah Pada Bulan Ramadhan oleh Yazid Abdul Qadir Jawas

Tabligh Akbar Air Mata Ramadhan -Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad

==========

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Kewajiban Berpuasa dan Berhari Raya bersama Pemerintah

✅ Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

? “Berpuasa adalah hari kalian berpuasa, berbuka (berhari raya idul fitri) adalah hari kalian berbuka dan berkurban (berhari raya idul adha) adalah hari kalian berkurban.” [HR. At-Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Ash-Shahihah: 224]

? #Beberapa_Pelajaran:

✅ Pertama: Perintah Berpuasa dan Berhari Raya bersama Pemerintah

Para ulama menjelaskan bahwa makna hadits yang mulia ini adalah perintah berpuasa Ramadhan dan berhari raya Idul Fitri dan Idul Adha bersama Pemerintah, dan bahwa Pemerintah yang berhak menentukan waktu dimulainya puasa dan hari raya. Al-Imam Abu Isa At-Tirmidzi rahimahullah setelah meriwayatkan hadits ini beliau berkata,

وَفَسَّرَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ هَذَا الْحَدِيثَ فَقَالَ : إِنَّمَا مَعْنَى هَذَا الصَّوْمُ وَالْفِطْرُ مَعَ الْجَمَاعَةِ وَعِظَمِ النَّاسِ

Sebagian ulama telah menafsirkan hadits ini, mereka berkata: Hanyalah makna hadits ini adalah berpuasa dan berbuka (berhari raya) bersama al-jama’ah (Pemerintah) dan kebanyakan manusia (tidak sendiri-sendiri atau berkelompok-kelompok).” [Sunan At-Tirmidzi, 2/72]

Al-‘Allaamah As-Sindi rahimahullah berkata,

وَالظَّاهِر أَنَّ مَعْنَاهُ أَنَّ هَذِهِ الْأُمُور لَيْسَ لِلْآحَادِ فِيهَا دَخْل وَلَيْسَ لَهُمْ التَّفَرُّد فِيهَا بَلْ الْأَمْر فِيهَا إِلَى الْإِمَام وَالْجَمَاعَة وَيَجِب عَلَى الْآحَاد اِتِّبَاعهمْ لِلْإِمَامِ وَالْجَمَاعَة

“Dan nampak jelas bahwa makna hadits ini adalah, perkara-perkara ini (menentukan waktu puasa dan hari raya) tidak boleh ada campur tangan individu-individu dan tidak boleh bagi mereka untuk menetapkan keputusan sendiri, akan tetapi keputusannya diserahkan kepada pemimpin dan pemerintah, dan wajib bagi individu-individu untuk mengikuti keputusan pemimpin dan pemerintah.” [Haasyiatus Sindi ‘ala Ibni Majah, 1/509]

✅ Kedua: Renungan untuk Ormas yang Menggunakan Metode Hisab dan Menyelisihi Pemerintah

Hadits yang mulia ini juga menunjukkan bahwa orang yang menentukan puasa dan hari raya dengan cara hisab dan tidak diakui pemerintah adalah tertolak. Al-Imam Al-Mundziri rahimahullah berkata,

وَقِيلَ فِيهِ الرَّدُّ عَلَى مَنْ يَقُولُ إِنَّ مَنْ عَرَفَ طُلُوعَ الْقَمَرِ بِتَقْدِيرِ حِسَابِ الْمَنَازِلِ جَازَ لَهُ أَنْ يَصُومَ بِهِ وَيُفْطِرَ دُونَ مَنْ لَمْ يَعْلَمْ

“Dan dikatakan bahwa dalam hadits ini ada bantahan terhadap orang yang berpendapat bahwa siapa yang mengetahui kemunculan bulan dengan perkiraan hisab (perhitungan) tempat-tempat (posisi) bulan maka boleh baginya untuk berpuasa dan berbuka tanpa diketahui orang lain.” [Tuhfatul Ahwadzi, 3/313]

Terlebih lagi jika Pemerintah di suatu negeri diberikan taufiq oleh Allah ta’ala untuk menetapkan awal Ramadhan dengan cara yang sesuai syari’at, yaitu dengan cara melihat hilal, apabila hilal tidak terlihat maka bulan Sya’ban disempurnakan menjadi 30 hari, sebagaimana dalam pembahasan sebelumnya.

➡ Maka orang atau ormas yang menyelisihi keputusan pemerintah karena mengikuti metode hisab, mereka telah melakukan beberapa kesalahan:

1) Menyelisihi perintah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam untuk mengikuti Pemerintah, maka tidak dibenarkan mengikuti keputusan ormas-ormas atau kelompok-kelompok tertentu dalam penetapan puasa dan hari raya.

2) Menetapkan awal Ramadhan dengan cara mengada-ada dalama agama, tanpa ada contoh dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, yaitu dengan cara hisab, padahal seharusnya dengan ru’yah hilal.

3) Apabila disertai dengan celaan terhadap pemerintah secara terang-terangan dengan dalih menasihati maka ini adalah cara menasihati kelompok ahlul bid’ah Khawarij(haruriyah) yang menyelisihi syari’at.

4) Itu juga termasuk ghibah, yang merupakan dosa besar.

✅ Ketiga: Apabila Kesaksian Melihat Bulan Tidak Diakui Pemerintah

Hadits yang mulia ini juga menunjukkan bahwa orang yang melihat hilal (bulan baru) namun kesaksiannya tidak diakui oleh Pemerintah maka tidak boleh baginya untuk berpuasa, menurut pendapat yang terkuat insya Allah. Al-Imam Al-Mundziri rahimahullah berkata,

وَقِيلَ إِنَّ الشَّاهِدَ الْوَاحِدَ إِذَا رَأَى الْهِلَالَ وَلَمْ يَحْكُمْ الْقَاضِي بِشَهَادَتِهِ أَنَّ هَذَا لَا يَكُونُ هَذَا صَوْمًا لَهُ كَمَا لَمْ يَكُنْ لِلنَّاسِ

Dan dikatakan bahwa satu orang saksi yang melihat hilal dan kesaksiannya tidak diakui oleh hakim maka tidak boleh baginya berpuasa, sebagaimana tidak boleh juga bagi orang-orang.” [Tuhfatul Ahwadzi, 3/313]

Al-‘Allaamah As-Sindi rahimahullah berkata,

وَعَلَى هَذَا فَإِذَا رَأَى أَحَد الْهِلَال وَرَدَّ الْإِمَام شَهَادَته يَنْبَغِي أَنْ لَا يَثْبُت فِي حَقّه شَيْء مِنْ هَذِهِ الْأُمُور وَيَجِب عَلَيْهِ أَنْ يَتْبَع الْجَمَاعَة فِي ذَلِكَ

“Oleh karena itu, apabila seseorang melihat hilal, namun Penguasa menolak persaksiannya, maka sepatutnya ia tidak memutuskan apa-apa dalam perkara-perkara ini, dan wajib baginya untuk mengikuti keputusan Pemerintah.” [Haasyitus Sindi ‘ala Ibni Majah, 1/509]

Pendapat ini juga yang dikuatkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dari tiga pendapat ulama berdasarkan hadits yang mulia ini, beliau berkata,

يَصُومُ مَعَ النَّاسِ وَيُفْطِرُ مَعَ النَّاسِ وَهَذَا أَظْهَرُ الْأَقْوَالِ

Hendaklah orang yang melihat hilal tetap berpuasa dan berhari raya bersama manusia, inilah pendapat yang paling jelas (kebenarannya).” [Majmu’ Al-Fatawa, 25/114-115]

Karena pada hakikatnya yang dinamakan hilal apabila ia sudah terlihat dan diakui pemerintah, kemudian pemerintah menetapkannya dan tersebar beritanya di tengah-tengah masyarakat, jadi bukan sekedar melihat keberadaan hilal. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

فَإِنَّ الْهِلَالَ مَأْخُوذٌ مِنْ الظُّهُورِ وَرَفْعِ الصَّوْتِ فَطُلُوعُهُ فِي السَّمَاءِ إنْ لَمْ يَظْهَرْ فِي الْأَرْضِ فَلَا حُكْمَ لَهُ لَا بَاطِنًا وَلَا ظَاهِرًا وَاسْمُهُ مُشْتَقٌّ مَنْ فِعْلِ الْآدَمِيِّينَ يُقَالُ: أَهْلَلْنَا الْهِلَالَ وَاسْتَهْلَلْنَاهُ فَلَا هِلَالَ إلَّا مَا اُسْتُهِلَّ فَإِذَا اسْتَهَلَّهُ الْوَاحِدُ وَالِاثْنَانِ فَلَمْ يُخْبِرَا بِهِ فَلَمْ يَكُنْ ذَاكَ هِلَالًا فَلَا يَثْبُتْ بِهِ حُكْمٌ حَتَّى يُخْبِرَا بِهِ فَيَكُونُ خَبَرُهُمَا هُوَ الْإِهْلَالَ الَّذِي هُوَ رَفْعُ الصَّوْتِ بِالْإِخْبَارِ بِهِ وَلِأَنَّ التَّكْلِيفَ يَتْبَعُ الْعِلْمَ فَإِذَا لَمْ يُمْكِنْ عِلْمُهُ لَمْ يَجِبْ صَوْمُهُ

Sesungguhnya hilal diambil dari makna azh-zhuhur (nampak jelas) dan raf’u ash-shout (mengangkat suara), maka kemunculannya di langit, apabila belum nampak di bumi; tidak ada hukum karenanya (tidak memberikan pengaruh pada penetapan awal dan akhir Ramadhan), tidak secara batin, tidak pula sacara zahir. Dan isim (kata benda) hilal adalah pecahan kata dari perbuatan (kata kerja) yang dilakukan oleh manusia, seperti dikatakan: Kami telah menyaksikan hilal dan melihatnya. Maka tidak ada hilal kecuali sesuatu yang telah jelas. Apabila satu atau dua orang telah melihatnya, namun mereka tidak mengabarkannya kepada manusia, maka itu bukan hilal, sehingga tidak ditetapkan hukum karenanya sampai mereka mengabarkannya kepada manusia, maka ketika itu barulah pengabaran mereka menjadi penampakan hilal yang merupakan rof’u ash-shout (mengangkat suara) dengan mengabarkan keberadaannya, dan karena pensyari’atan ibadah mengikuti ilmu, maka apabila belum memungkinkan untuk mencapai ilmunya (yaitu ilmu tentang awal Ramadhan), belum wajib mulai berpuasa.” [Majmu’ Al-Fatawa, 25/109-110]

✅ Keempat: Bagaimana Apabila Ijtihad Pemerintah Salah dalam Menetapkan Awal atau Akhir Ramadhan?

Hadits yang mulia ini juga menununjukkan bahwa penetapan waktu puasa dan hari raya diserahkan kepada ijtihad pemerintah dengan cara yang benar, yaitu melihat bulan atau menyempurnakan bulan. Apabila mereka sudah berusaha untuk berijtihad dengan cara yang benar dan ternyata ijtihad mereka keliru maka tidak ada celaan atas mereka dan tidak perlu dipermasalahkan. Al-Imam Al-Khottabi rahimahullah berkata,

مَعْنَى الْحَدِيثِ أَنَّ الْخِطَابَ مَوْضُوعٌ عَلَى النَّاسِ فِيمَا سَبِيلُهُ الِاجْتِهَادُ فَلَوْ أَنَّ قَوْمًا اجْتَهَدُوا فَلَمْ يَرَوُا الْهِلَالَ إِلَّا بَعْدَ الثَّلَاثِينَ فَلَمْ يُفْطِرُوا حَتَّى اسْتَوْفَوُا الْعَدَدَ ثُمَّ ثَبَتَ عِنْدَهُمْ أَنَّ الشَّهْرَ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَإِنَّ صَوْمَهُمْ وَفِطْرَهُمْ مَاضٍ وَلَا عَتْبَ عَلَيْهِمْ

“Makna hadits ini bahwa penetapan awal puasa dan hari raya diserahkan kepada manusia (pemerintah) serta termasuk perkara yang ditetapkan melalui ijtihad. Andaikan satu kaum berijtihad, lalu mereka tidak melihat hilal kecuali setelah hari ke-30, lalu mereka tidak berbuka sampai menyempurnakan bulan menjadi 30 hari, kemudian ternyata di kemudian hari menjadi jelas bagi mereka bahwa bulan hanya 29 hari, maka puasa dan berbuka mereka telah berlalu dan tidak ada celaan atas mereka.” [Haasyiatus Sindi ‘ala Ibni Majah, 1/509-510]

✅ Kelima: Hikmah Menaati Pemerintah dalam Penetapan Awal dan Akhir Ramadhan

Diantara hikmah besar apabila seluruh kaum muslimin mengikuti keputusan Pemerintah dalam penetapan awal dan akhir Ramadhan adalah mengokohkan persatuan kaum muslimin. Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata,

لا شك أن اجتماع المسلمين في الصوم والفطر أمر طيب ومحبوب للنفوس ومطلوب شرعا حيث أمكن

“Tidak diragukan lagi bahwa bersatunya kaum muslimin dalam puasa dan hari raya adalah perkara yang baik, dicintai oleh jiwa dan dituntut secara syari’at, apabila memungkinkan.” [Majmu Fatawa Ibni Baz, 15/74]

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

Sumber: http://sofyanruray.info/kewajiban-berpuasa-dan-berhari-raya-bersama-pemerintah/

***

Cara Menentukan Awal dan Akhir Ramadhan Menurut Syari’at ?

✅ Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ

? “Berpuasalah karena kalian telah melihat bulan dan berbukalah (berhari raya idul fitri) karena kalian telah melihatnya, apabila kalian terhalangi melihatnya maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi 30 hari.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]

? #Beberapa_Permasalahan:

➡ Pertama: Peringatan bagi Kaum Muslimin untuk Mengikuti Tuntunan Syari’at dalam Penetapan Awal dan Akhir Ramadhan

Hadits yang mulia di atas adalah kata putus dari Allah subhanahu wa ta’ala melalui lisan Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam dalam permasalahan cara menetapkan awal dan akhir bulan Ramadhan dan bulan-bulan yang lainnya. Maka sudah sepatutnya kaum muslimin untuk selalu merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, agar selamat dari kesesatan dan perselisihan. Allah ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (As-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [An-Nisa: 59]

(Lanjut di halaman 2)